Rabu, 09 September 2009

kursi - buku

Kursi – ini yang sering aku singgahi ketika lelah tiba. Terbenam dalam pundak yang tak kunjung direngkuh iba. Benda ini pula yang aku buat sebagai tempat istirahat. Bukanlah sebuah kasur empuk yang membuat aku terlelap. Tetapi hanyalah kursi – agar aku terjaga. Dan sanggup terbangun tergesa-gesa saat kamu membutuhkan aku. Kursi – ini tidak bergoyang. Tidak sanggup membuat aku dibuat malas karena goyangannya. Kursi – ini tempat aku terjaga – untuk kamu – saat aku ingin beristirahat namun tak ingin tidur. Aku tahu kursi ini kuat karena bahan bakunya – baku bahannya. Aku kuatkan kursi ini dengan niat bulat walaupun tampak tak rapih karena sikap grogi-ku yang kadang-kadang muncul tiba-tiba. Kadang cemburu karena mendengar alasan tak pasti. Tapi kamu pasti tahu mengapa kursi indah. Dan mengapa aku sanggup terjaga untuk kamu. Meski saat tepat di kursi – memandangi kamu tertidur. Tapi aku sanggup. Aku ulang satu kali lagi. ”Aku terjaga, sanggup tak tertidur di kursi ini”.

Buku – ini adalah harian kamu di mana menghabiskan waktu dengan aku dan atau pun tanpa. Tempat tertulisnya kalimat-kalimat yang tidak pernah kamu ucapkan kepadaku. Tempat aku yang tidak pernah mendengar sedikit pun ucapan yang teruntai dari mulut-mu. Seperti layaknya diari – kadang berisi andaian ataupun rasa yang sering menggangu keseharian kamu. Ya, walaupun aku tahu keseharian itu sempurna kamu yang memiliki. Dan aku sedikit terlibat di dalamnya – menggangu. Tapi itulah buku yang kamu buat – yang setiap harinya kamu isi dengan kecerian dan atau kesedihan-mu yang berkala. Dan kamu pun tidak pernah lupa untuk menulis di setiap lembarnya. ”Maaf aku tidak sanggup berkata, apalagi terjaga”.

Aku sudah memakluminya dari dulu, hingga kursi ini tercipta. Aku sudah tidak memikirkan untuk tertatih – tanpa kursi ini. Karena disinilah aku menunggumu berbaring. Kadang pula menunggu kamu mengatakan sesuatu. Dan setiap kata yang akan keluar dari mulut-mu, aku perhatikan dengan menengadah. Dagu ini tampak membuat sudut keatas saat aku memperhatikan kamu yang berdiri dan aku yang terduduk. Tapi aku yakin kamu berucap pun sambil menunduk. Supaya lirih katamu yang keluar tidak sanggup aku dengar – meskipun aku memperhatikan. Itulah kamu – itulah aku.

Dan setiap hal kecil yang aku perbuat sanggup membuat mu kecewa. Disaat kamu kecewa tak enggan kamu merobekan satu lembar kertas dari dalam buku tersebut. Hal itulah yang membuat kursi ini rapuh. Dalam jangka yang pendek. Karena selalu menguatkan kursi ini kembali. Meskipun terlihat jelas saat kamu merobek tiap lembarnya. Tiap lembarnya kamu robek dengan angkuh – tiap saatnya kursi ini semakin rapuh.

Entah sampai berapa lama kursi ini sanggup diduduki – ketika rapuh. Sehingga tampak pincang – maupun tinggi sebelah.

Tapi itulah kamu – tapi itulah aku. Biarkanlah aku dengan sehatnya membaca buku kamu. Walaupun setiap lembar aku membacanya – setiap lembar itu pula aku harus merobeknya. Biarlah aku saja yang merobeknya. Kamu tidak usah repot membuang tenaga dan pikiran-mu untuk merobek lembaran ini. Karena aku yakin setiap lembaran yang aku robek – aku gunakan untuk mengganjal kursi yang bimbag ini. Sehingga tampak lebih kuat dari biasanya. Sehingga aku bisa lebih nyaman membaca buku-mu – terjaga menunggu kamu tertidur. Dan ada saatnya aku membangunkan kamu dari tidur-mu. Dan ada saatnya aku terjaga tanpa kursi ini – hingga kamu sanggup berkata tanpa buku ini.

Jadi kamu tidak perlu lagi menulisi buku ini – dan kita berdua terlelap bukan di kursi ini.


imo 090909 – 11.59 PM