Rabu, 09 September 2009

kursi - buku

Kursi – ini yang sering aku singgahi ketika lelah tiba. Terbenam dalam pundak yang tak kunjung direngkuh iba. Benda ini pula yang aku buat sebagai tempat istirahat. Bukanlah sebuah kasur empuk yang membuat aku terlelap. Tetapi hanyalah kursi – agar aku terjaga. Dan sanggup terbangun tergesa-gesa saat kamu membutuhkan aku. Kursi – ini tidak bergoyang. Tidak sanggup membuat aku dibuat malas karena goyangannya. Kursi – ini tempat aku terjaga – untuk kamu – saat aku ingin beristirahat namun tak ingin tidur. Aku tahu kursi ini kuat karena bahan bakunya – baku bahannya. Aku kuatkan kursi ini dengan niat bulat walaupun tampak tak rapih karena sikap grogi-ku yang kadang-kadang muncul tiba-tiba. Kadang cemburu karena mendengar alasan tak pasti. Tapi kamu pasti tahu mengapa kursi indah. Dan mengapa aku sanggup terjaga untuk kamu. Meski saat tepat di kursi – memandangi kamu tertidur. Tapi aku sanggup. Aku ulang satu kali lagi. ”Aku terjaga, sanggup tak tertidur di kursi ini”.

Buku – ini adalah harian kamu di mana menghabiskan waktu dengan aku dan atau pun tanpa. Tempat tertulisnya kalimat-kalimat yang tidak pernah kamu ucapkan kepadaku. Tempat aku yang tidak pernah mendengar sedikit pun ucapan yang teruntai dari mulut-mu. Seperti layaknya diari – kadang berisi andaian ataupun rasa yang sering menggangu keseharian kamu. Ya, walaupun aku tahu keseharian itu sempurna kamu yang memiliki. Dan aku sedikit terlibat di dalamnya – menggangu. Tapi itulah buku yang kamu buat – yang setiap harinya kamu isi dengan kecerian dan atau kesedihan-mu yang berkala. Dan kamu pun tidak pernah lupa untuk menulis di setiap lembarnya. ”Maaf aku tidak sanggup berkata, apalagi terjaga”.

Aku sudah memakluminya dari dulu, hingga kursi ini tercipta. Aku sudah tidak memikirkan untuk tertatih – tanpa kursi ini. Karena disinilah aku menunggumu berbaring. Kadang pula menunggu kamu mengatakan sesuatu. Dan setiap kata yang akan keluar dari mulut-mu, aku perhatikan dengan menengadah. Dagu ini tampak membuat sudut keatas saat aku memperhatikan kamu yang berdiri dan aku yang terduduk. Tapi aku yakin kamu berucap pun sambil menunduk. Supaya lirih katamu yang keluar tidak sanggup aku dengar – meskipun aku memperhatikan. Itulah kamu – itulah aku.

Dan setiap hal kecil yang aku perbuat sanggup membuat mu kecewa. Disaat kamu kecewa tak enggan kamu merobekan satu lembar kertas dari dalam buku tersebut. Hal itulah yang membuat kursi ini rapuh. Dalam jangka yang pendek. Karena selalu menguatkan kursi ini kembali. Meskipun terlihat jelas saat kamu merobek tiap lembarnya. Tiap lembarnya kamu robek dengan angkuh – tiap saatnya kursi ini semakin rapuh.

Entah sampai berapa lama kursi ini sanggup diduduki – ketika rapuh. Sehingga tampak pincang – maupun tinggi sebelah.

Tapi itulah kamu – tapi itulah aku. Biarkanlah aku dengan sehatnya membaca buku kamu. Walaupun setiap lembar aku membacanya – setiap lembar itu pula aku harus merobeknya. Biarlah aku saja yang merobeknya. Kamu tidak usah repot membuang tenaga dan pikiran-mu untuk merobek lembaran ini. Karena aku yakin setiap lembaran yang aku robek – aku gunakan untuk mengganjal kursi yang bimbag ini. Sehingga tampak lebih kuat dari biasanya. Sehingga aku bisa lebih nyaman membaca buku-mu – terjaga menunggu kamu tertidur. Dan ada saatnya aku membangunkan kamu dari tidur-mu. Dan ada saatnya aku terjaga tanpa kursi ini – hingga kamu sanggup berkata tanpa buku ini.

Jadi kamu tidak perlu lagi menulisi buku ini – dan kita berdua terlelap bukan di kursi ini.


imo 090909 – 11.59 PM

Senin, 31 Agustus 2009

terlelap

Bidadari mengoceh interogasi bertubi-tubi secara konsumtif
Para peri secara instan turun ke bumi - bombardir dengan naratif
Dayang dayang di medan laga gemar mereproduksi speaker aktif
Introduksi jual beli tanpa balas jejaka terkulai satu alasan pasif

Perjaka tidak lagi berkata-kata dengan pantun
Menenelan ludah sudah satu liter kadang dibuang tanpa santun
Perjaka mengelus sabar dari ujung katun
Perawan ini ingin sekali perjaka menuntun

Satu kali omong ingin terbalas perawan ini sekarang
Perjaka diam bengong tiga kali heran
Perawan ingin rumah yang ia terawang
Perjaka bengong diam tiga kali heran

Hubungan pribadi bergumul selimut esok yang entah
Disatukan kembali hati berserakan pun luluh lantah
Merekat-rekatkan serpihan yang terbagi dengan getah
Si perawan ini memompa terus darahnya tanpa lintah

Si jejaka pasif meredakan darah dengan riuh rendah
Menyusun-nyusun kata pun tak terjalin pesona nan indah
Si perawan sibuk berkutat tepat ingin kejelasan satu arah
Si pasif tersedak parau-nya sendiri - muntah darah

Disiplin lah diterapkan si perjaka dalam bersikap
Pragmatisasi diandaikan ribuan penggalan kepala kakap
Bunuh asal rimba tanpa bersua pun menjadi kalap
Si perjaka tersiksa - si perawan terlelap

imo 310809 3.11 am

Jumat, 28 Agustus 2009

rima jibril

Suatu hari nama anak-ku luruh seperti Jibril
Aku buat bergesekan dengan peluh dan kerikil
Suatu hari pun aku timang teduh sambil sambil
Usir ribuan raungan batu jatuh dari ababil

Sempat bertanya sebentar pasangan yang membuahi
Yang lama hadir yang baru pergi menghindari
Lalu kapan lagi sempat bertanya hal yang-ku gagahi
Yang lama bercerita yang baru berdiam diri

Pergi nya semakin cepat saat hati belum beranjak
Pergi nya bukan ke laut pasir putih untuk di-injak
Maupun ketenangan hati yang hambar melonjak
Seperti berjalan menutup matanya bak pembajak

Gurauan mana yang sekarang aku hambai
Yang lalu di-ingat-ingat cuma menghantui
Bersama senyum dari calon Jibril yang melambai
Ini lah contoh ribuan patung mengapa di-pahati

Patung diam berdendang dalam hati dengan nada menanjak
Tetap saja tanpa kilaun kamu yang merasa aku tamak
Apa guna nada itu ku gumamkan – sepertinya sudah tidak layak
Yang aku buat hanya rima – semisal siulan dalam jeda sajak

Biar peluh dan kerikil aku kumpulkan sendiri sambil sambil diam atau berdendang sudah tak layak penting hari ini – sudah pula membatu bergumam atau memberi jeda tak pasti – biar jemari usil saja yang memahami – walaupun tiada pun hasil – biar saja – aku sendiri yang usir ababil yang usil dengan martil – dan ujung tombak yang suatu hari berbuah hasil – kalau pun tidak, biar aku saja yang mengadopsi Jibril.



imo 280809 08.57 pm

Kamis, 27 Agustus 2009

undian

Baskoro, lelaki lajang hitam legam, cetakan orang desa yang orang tuanya hanya buruh tani. Memiliki satu adik yang tidak sekolah. Umur adiknya sudah 12 tahun, sedangkan Baskoro 21 tahun jalan. Keadaan ekonomi keluarganya semakin morat-marit ketika ditinggalkan Bapak satu-satunya, kembali pada Tuhan. Baskoro merasa tanggungan keluarganya selalu nongkrong di pundak.

Dua tahun silam Ia memutuskan untuk mempertaruhkan jiwa raganya ke kota besar. Tanpa bekal ilmu, hanya uang secukupnya, peninggalan ayahnya dulu. Kalau dihitung-hitung hanya mampu untuk pergi ke kota dan makan, kira-kira tiga harian.


***


Sebenarnya Ibu Baskoro tidak setuju anaknya pergi ke kota. Karena khawatir tentunya. Bagaimana tidak, Baskoro sama sekali tidak pernah merasakan kerasnya bangku sekolah. Bisa dibilang dia itu polos dan bodoh. Tapi semangat dan niat Baskoro yang akhirnya membuat Ibunya mengangkat bendera putih.

Berangkat juga Baskoro ke kota. Isak tangis mengiringi kepergian Baskoro. “ Hati-hati ya nak “ hanya kalimat itu yang terucap dari bibir kering wanita tua. “ Sabar ya Bu, semua pasti berubah dan berlalu “. Penuh harapan Baskoro.

***

Deru mesin mobil bernyanyi menunggu dinaiki Baskoro. Debu yang melewati seperti taburan bunga perpisahan. Haru yang terjadi. Beribu angan harapan Baskoro.

***

Satu hari satu malam terlewati begitu saja. Kaki Baskoro akhirnya menapak juga pada salah satu terminal. Clingak-clinguk seperti maling kehilangan jalan pulang setelah seharian merampok. Beberapa saat sebelum menarik napas selanjutnya, sudah ada orang yang menghampiri. Menawarkan jasa. “ Taksi Mas?”, “ Boleh-boleh, tapi jangan terlalu manis”. Lu kira minuman. Dasar tolol. Tapi harap dimaklum saja, karena di desa, keluarganya tidak memiliki televisi maupun radio. Lalu darimana dia tahu tentang kota ini?. Dia itu tahu dari seorang tetangga yang seharian berbual tentang keindahan kota besar.

Belum sampai tiga hari. Hanya beberapa jam saja di kota, Baskoro sudah kehilangan harta warisan Bapaknya. Sudah miskin, tambah miskin. Baskoro bingung, lalu lalang di keramaian kota.

Sepasang mata tajam dari jauh menatap si orang hitam ini. Bak elang mencari mangsa. Mungkin akan terjadi kesialan lagi. Elang itu terbang meninggalkan tempat bertengger, menghampiri Baskoro.

“ Lagi cari pekerjaan, bung? “ rupanya elang baik hati.

“ Kok situ tau? “ Baskoro dengan muka kaget agak memelas.

Elang itu memiliki toko beras. Wajar saja jika Baskoro yang terpilih. Dari garis muka yang terlihat dan perawakan tubuh yang besar menjadikan Baskoro cocok untuk menempati pekerjaan yang dibutuhkan sang elang. Buruh panggul. Jauh-jauh merantau, di desa juga ada. Tapi setidaknya Baskoro bisa menyambung hidup untuk beberapa hari.

Baskoro tinggal di toko beras, merangkap menjadi satpam. Merasa bosan dengan hidup yang serba kecukupan, Baskoro menanyakan tips cepat menjadi orang kaya kepada teman seperjuangan di toko tersebut.

Tips-tipsnya sebagai berikut:
1. Berani malu.
2. Berani menjilat.
3. Berani membunuh.
4. Berani bertaruh.

“ Lalu mana yang kau pilih, Bas? “.

“ Kalau malu, dari dulu aku sudah didera malu. Kalau menjilat aku tidak mau, tambah malu, dan lidah tampak kelu. Membunuh?, hiii, aku tidak tahan melihat darah. Di desa aja kalau mau motong ayam, pasti si mboke yang melakukan. Bagaimana kalau bertaruh? Seluruh hidup ku aku habiskan dengan bertaruh, walau hatiku akan memerah, marah .“

“ Ya sudah kalau begitu aku akan antar kamu ke tempat temanku, dia seorang bandar undian. “

Bersamaan langkah Baskoro, hatinya mengharapkan suatu perubahan besar yang akan terjadi. Tokonya ditinggalkan begitu saja. Yang terbesit hanya menjadi orang kaya, apapun jalannya. Tiba juga di tempat penuh kepulan asap rokok dan aroma alkohol yang sesekali menunjukan bau khasnya. Lenggak-lenggok pinggul wanita tanpa sanggul ikut bercampur baur dalam suatu pertandingan mempertaruhkan uang. Menemani mereka-mereka yang berjaya di meja judi. Tak jarang yang menyelipkan uang di antara belahan payudara.

Awalnya Baskoro rada canggung ketika ikut berbaur. Uang di dalam saku Baskoro mulai bercampur di meja maksiat. Dengan keterampilan bermain kartu waktu ronda di desa dulu lambat laun menyingkirkan pesaing-pesaing lain yang sudah mulai tidak berkutik di bawah naungan alkohol.

Bandar pun kewalahan melihat sepak terjang Baskoro. Satu malam itu, Baskoro kaya mendadak. Ketagihan dengan permainan mencetak uang dengan cepat itu, akhirnya setiap malam tidak pernah absen.

Sampai pada suatu malam toko majikannya kebobolan, ulah kelalaian Baskoro, yang sekarang menyandang gelar pejudi berat. Baskoro tidak pernah mengambil pusing atas pemecatan dirinya. Toh dia masih bisa hidup dari meja judi.


***

Dan suatu saat orang-orang di meja itu sudah mulai muak dengan masa keemasan Baskoro. Mereka sepakat untuk membuang Baskoro dari gerombolannya. Hebatnya, Baskoro tidak merasa sedih. Toh, masih ada jutaan lagi meja judi di kota ini yang belum disinggahi. Apalagi kehidupan perekonomian Baskoro sudah mulai membaik.

Baskoro sudah memiliki rumah kontrakan sendiri. Hari demi hari Ia habiskan meloncat-loncat dari meja satu ke meja judi yang lain. Baskoro selalu mengantongi jumlah uang yang besar ketika pulang.

***

Hingga dua tahun berlalu. Dalam satu hari dan seterusnya Baskoro mendapati uangnya yang berlimpah tidak berguna. Itu ketika Baskoro mendapatkan surat dari Adiknya. Tulisan tangan tetangganya di desa, di atas secarik kertas. Kertas diputar-putar, dibolak-balik tetap saja tak terbaca. Baskoro meminta empunya kontrakan membacakannya. Lalu si empunya kontrakan hening sejenak sambil berucap dari bibir yang terbata-bata dan raut muka dingin dan rata,

“ Si Mboke meninggal kemarin, karena belum makan lima hari “.







“…kita terlalu sering mempertaruhkan hidup di atas hati yang hampa…”

imo Oktober 2005

mimpi indah

Hai,
Apa kabar hari ini?
Bagaimana rasanya mendapati hidup baru yang berbeda?
Merasa asing dipagi ini?
Pengalaman baru yang belum aku jajaki dengan atau tanpa noda?

Tidak usah dijawab pertanyaan ku yang berantai itu, aku tahu kamu tidak sanggup membalas dengan kuat.

Oh iya, ini aku bawakan sarapan untuk mu, tidak usah beranjak dari tempat istirahat mu.
Menu hari ini spesial buat kamu.
Aku tambahkan satu macam bunga hari ini.
Jadi sekarang ada delapan bunga yang mengiringi.

Tenang, aku tetap mendoakan sambil mengusap nama mu yang terpahat..


imo januari2003

bulan datang

Seharusnya malam ini sudah terlelap. Bulan pun sudah mulai tampak bosan bertengger di sana. Sepertinya menunggu sesuatu. Atau mungkin aku yang sedang menunggu. Sebenarnya memang aku yang sedang menunggu. Lalu bulan menunggu juga? Menunggu siapa? Menunggu aku yang sedang menunggu? Bukan ya. Iya aku tahu kalau itu rutinitasmu. Lalu apa rutinitasku juga menunggu sepertimu bulan? Bulan diam saja. Aku juga diam saja ah.

Eh, tunggu sebentar. Kok bentuk bulannya tidak bundar seperti biasanya. Meruncing. Oh, aku tahu, mungkin ini yang disebut dengan bulan sabit. Tetapi mengapa tampak seperti senyuman yah. Wow, imajinasi ini terlalu liar. Mirip senyum siapa yah. Yang jelas, sama sekali tidak mirip dengan bulan yang bundar.

Bolehkah aku bergelantungan di ujung bentukmu? Hanya untuk menghabiskan waktu menunggu. Bulan masih diam saja. Ternyata bulan yang ini masih sama dengan bulan yang bundar. Lalu kemana perginya bulan yang bundar? Aku lebih suka bulan yang bundar, terang, menerangi. Kalau bulan yang ini sepertinya senyum senyum menertawakan aku. Tapi sedikit menggoda memang. Tapi aku ingin bulan yang dulu saja.

Mungkin bulan yang bundar sedang menstruasi. Biasanya tidak ingin diganggu. Emosinya labil. Tapi, bulan bundar menyenangkan kalau sedang menstruasi. Senangnya malu malu, sembunyi dibalik awan malam. Aduh, aduh, jadi ingin melihat bulan yang bundar. Hei bulan sabit, apakah kamu melihat bulan bundar? Kalau kamu tahu, beritahu, nanti aku buatkan telur dadar. Mau? Atau aku buatkan menu yang lainnya? Aku mau saja kok, sambil aku buatkan sambil aku bercerita tentang aku dan si bulan yang bundar. Ceritanya menarik buat kami berdua. Lumayan untuk menghabiskan waktu malam ini.

Dulu aku dan si bulan yang bundar sering menghabiskan berdua. Bercengkrama. Bercanda, tak jarang sesekali bersentuhan. Agak geli memang. Tapi menakjubkan. Cuma ada malam dimana kami memang tidak bisa bersentuhan. Ya, kamu tahu kan. Saat emosinya labil. Dan pernah juga kami beradu argumen, tentang bagaimana dia, tentang bagaimana aku. Padahal aku sudah sering menjelaskan kalau kami itu berbeda. Mempunyai kehidupan masing-masing yang harus dijalani. Aku punya kehidupan pribadi yang indah. Begitu pun sebaliknya. Tetapi dia sering mengeluh saat kami tidak bersama. Aku tidak tahu.

Eh, bulan sabit. Mau tahu hal yang lebih seru tidak? Kami pernah tidur bersama. Tetapi bukan saat dia bertugas. Saat itu matahari yang jaga. Aku lupa menghitung berapa tetes keringat yang jatuh. Yang jelas dan pasti, mengalir seperti sungai. Tetapi kami berdua menikmati disaat basah tersebut. Dia tidak mengeluh. Begitu pun aku. Dia mau lagi. Aku juga. Keringat juga tidak keberatan untuk berlarian di tubuh kami berdua. Kamu heran yah, mengapa saat tidur bersama bisa berkeringat. Aku juga tidak tahu. Naluri.

Tapi sekarang kemana ya si bulan bundar? Kamu tidak tahu ya. Tak apalah, ada kamu. Lagi pula aku sudah bercerita banyak. Masuk sini sebentar. Biar aku ceritakan. Aku utarakan kalimat kalimat pamungkas ku saat bersama bulan bundar. Mungkin juga berhasil padamu. Telur dadarnya sudah matang. Masuklah sebentar saja. Sebentar saja. Sebentar.

Kenapa? Tidak mau ya? Menyenangkan saat keringat menetes. Mau coba tidak? Oh aku tahu, jangan jangan emosi mu sedang labil malam ini. Berarti malam ini memang sudah jadi nasibku untuk menunggu.

Apakah esok malam kamu masih ada?


imo maret 02

bangun terlalu pagi

Pagi cerah dengan suasana merah. Terhimpit hal-hal yang itu lagi. Berbondong-bondong ingin segera berakhir. Dari lambat launnya nafas yang merasa terpaku oleh masa lalu dan terbenamnya tatapan berat demi masa depan. Sebuah kudapan tanpa tudung saji. Sebuah penikmat tanpa sejati. Ceria. Ceria. Saat yang bersamaan para berudu mengadu-adu menjadi katak berkokok. Aku malah ber-metamorfosis menjadi manusia purba tanpa batok. Dengan santainya. Berlindung pada naungan gua. Sesekali keluar untuk melepas dahaga dan memuaskan rasa lapar. Tapi apakah benar adanya? Apakah itu yang dilakukan si-manusia gua? Tidak ceria. Terkurung semua kesunyian.


Bagaimana kalau aku menjadi serigala. Meneriakan lolongan kekosongan hati di ujung yang sebenarnya – memang tidak bertepi. Tidak akan pernah ada habisnya lolongan. Karena apalah artinya lolongan tanpa sahutan yang mengadu – riuh – ramai. Dan sepertinya lebih kurang pantas lagi jika serigala berteriak pagi ini. Tanpa ditemani sang bulan. Pasti serigala merindukan sang bulan. Atau bulan tampak mati untuk serigala. Sepertinya aku tak pantas menjadi serigala. Karena aku tak kuat melolong. Karena aku tak mempunyai bulan untuk aku andai-andaikan. Kosong semua kesunyian.


Apa yang sekiranya pantas untuk aku jadikan bandingan – penyamarataan buatku pagi ini. Aku berpikir sejenak. Jangan dulu beranjak.


***


Aku buatkan teh manis hangat. Aku buat persis hangat. Usah tidak repot membawanya dan tidak terluka karenanya. Satu teguk hangat mewakili perasaan bersyukur pagi ini. Beberapa teguk ternyata tidak terasa. Aku girang mampu mengosongkan area gelas rapuh ini. Agak sedikit retak terkena hangatnya. Aku sudah bilang. Aku buat persis hangat. Bagaimana jika tidak. Pasti tidak ada retak. Jika aku tuang ke dalam gelas terlalu panas - ber-emosi ria. Apakah aku bersyukur untuk pagi ini? Pecah semua kesunyian.


Sebelum aku merasa sudah dan atau tidak sama sekali merasa syukur. Aku merasakan lapar. Aku merasa buas. Padahal aku bukan serigala. Dan tidak pernah pantas untuk menjadinya. Dan. Padahal juga, aku sudah meneguk – beberapa teh manis hangat. Manis. Hanya manis untuk dikenang. Sedangkan aku terbuai untuk hidup saat ini. Berarti aku bukan teh manis hangat yang pandai bersyukur karena terlindungi. Kurang peka. Kurang merasakan kehadiran – Nya. Bodohlah semua kesunyian.


***


Bernyanyi saja. Sambil me-nyimpulkan senyum. Lempar-lemparkan kemari kesana. Lari-lari kecil. Dan siulan. Sesekali berhenti – mengatur nafas. Lanjutkan kembali. Tengok-tengok. Berhenti. Semua itu tidak bisa mewakili perasaanku. Aku duduk dengan panggulan beban berharap setelah dalam keadaan jongkok semua akan mencair. Ternyata pusing. Aku coba tinggi berdiri kembali. Tetapi panggulan ini loncat-loncat di tempat aku mulai mendaki. Aku merangkak mencari sebutir obat. Menghilangkan penat – pusing dari segala marabahaya yang siap menikam saat aku lengah. Obatnya Cuma separuh. Setengah. Itu pun tidak sempurna setengah. Kira-kira berapa gram ya obatnya? Sanggup tidak menghalau rimbunan beban ini. Aku telan tanpa air. Tanpa tangisan. Tanpa harapan. Ada. Harapan. Sedikit. Jadi lebih baik aku anggap tanpa harapan. Tanpa harapan semua kesunyian.


***


Nah, sekarang bingung hendak apa. Diam sejenak. Jangan dulu beranjak.


***


Beberapa saat aku berbaur dengan udara pagi ini. Tiupannya membawa bisikan angkuh. Dinginlah aku. Mengigil sedikit tersapu haru. Haru dibuat melebihi keadaan sekitar yang sebenarnya bisa diperbaiki. Angkuhnya mulai merajai setiap rasa sakit pada tulang-tulang sendi. Dinginnya menjilati setiap penyakit hati. Basuhan air sungai yang meredakan luruh. Dari atas kepala hingga ujung kaki. Ujung kaki. Yang pandai menginjak. Yang pandai ber-omong kosong. Kaki ini menapaki setiap bukit hati para pe-sedih. Dibuatnya berulang-ulang kali merasakan sedih. Sedihnya melebihi perahu karam yang tenggelam sebelum fajar. Sedih semua kesunyian.


Dan berlalu pergi begitu saja seperti serigala tanpa teh manis hangat yang melolong hebat mencari obat. Lalu sesekali bernyanyi menarik hati dan berlalu pergi – lagi. Karena pagi ini terlalu berharga untuk aku jadikan gua masa depan. Aku manusia tanpa gua yang hidup di masa sekarang. Ber-metamorfosis ke masa lalu. Meratapi semua kesunyian.




imo 10082009

komunikasi bisu - tuli

Sayup-sayup mulai terdengar rentetan pertanyaan si bisu tepat di telinga si tuli. Aneh memang. Si bisu tiba-tiba pandai berbicara. Dan lebih aneh. Si tuli mampu mendengar anekdot paling konyol dari mulut lawannya. Koar-koar ganasnya pertanyaan si bisu membangkitkan luka si tuli. Si tuli punya hati. Si bisu punya otak. Kadang mereka bertukar kepunyaan mereka masing-masing. Kadang – juga, mereka saling melempar kembali kepunyaan – kesayangan – kebanggan. Dipertahankanlah. Benteng mereka kuat-kuat. Jebolnya saat berbaur. Tapi berbaurnya mereka penyebab hancur. Sampai saat inilah mereka bertahan dari kepunyaan-nya masing-masing. Hancurlah mereka punya kepunyaan.



***



Beberapa saat yang lalu – jauh sekali. Hari tersusun sebagai hari. Dan bulan dijalani seperti bulan. Hingga lama sekali. Dari hari awal mereka bertemu. Namun tahun belum dijamahi. Seakan sudah melewati tahunan tanpa basa-basi.

Kemarin-kemarin si bisu tampak sekali terlihat bisu. Dengan otaknyalah ia sanggup menjelaskan. Walaupun berputar-putar keadaan, ia tetap tampak terlihat bisu. Ya memang bisu. Apalagi. Toh, bisu kan tidak mengeluarkan kata-kata. Tapi apakah harus mengeluarkan otaknya? Tampak seram bukan. Ah, tak mengapa biarkanlah si bisu melakukan buaiannya. Terlalu dini mungkin si bisu bercakap kepada si tuli. Biarkanlah. Si bisu ini punya otak. Biarkanlah otaknya yang mewakili perasaannya.

Kemarin-kemarin juga si tuli tampak sekali terlihat tuli. Tidak bisa mendengar muntahan suara dari otak si bisu. Mungkin muntahan pikiran otaknya tampak terlihat seram. Dikarenakan takut mungkin. Jadi manut si tuli. Si tuli tampak gagah yang lemah lembut jika menghadapi si bisu. Nah, si bisu. Selalu tampak anggun di mata si tuli. Untungnya si tuli tidak buta. Setidaknya dia mampu melihat ke-anggunan si bisu yang dibuang padanya. Perasaan si tuli-lah yang dipertaruhkan disini. Anggun – memainkan perasaan si tuli. Indah. Si tuli menangis sesekali. Bahagia – haru di ladangnya sendiri. Pekarangannya ia sisakan jika suatu saat si bisu mampir. Perasaan yang main di sini. Biarkanlah. Si tuli ini punya perasaan. Biarkanlah perasaannya yang mewakili otaknya.



***



Beberapa saat si bisu bingung mengutarakan otaknya. Karena si tuli gencar dan memencar dengan begitu saja tanpa jeda. Si bisu bingungnya bukan kepalang. Digeleng-gelengkannya kepala beberapa kali – menandakan ketidak sanggupan si bisu menahan gencaran si tuli. Si tuli asyik saja. Seakan tidak mendengar alasan si bisu. Si tuli tidak perlu menutup kuping. Yang ia perlukan hanya mengumbar semua perasaanya. Tapi perlahan ditepis dengan syahdu oleh si bisu. Si tuli berdarah-darah hatinya. Si bisu iba. Si bisu ikut menangis. Otaknya dikesampingkan sementara waktu. Terlibat gejolak yang memuncak saat si tuli merapatkan hatinya. Si bisu tidak menggunakan otaknya.

Si tuli mulai memainkan nada cinta di sisi si bisu. Si bisu mencoba berkata. Namun, terbata-bata. Acak-acakan kalimat yang dihembuskan. Gugup. Sehingga tampak beberapa kata yang diulang hingga sampai dua atau tiga kali. Lupa saya. Yang saya ingat adalah gugupnya si bisu tidak terdengar si tuli. Si bisu gemetaran. Si tuli keasyikan. Bermain cintalah mereka berdua. Berkejar-kejaran pagi dan malam. Si tuli mengejar si bisu. Si bisu berlindung di balik kebanggaannya. Si tuli tidak menemukan. Si bisu semakin bersembunyi.



***



Beberapa waktu tidak didapati mereka berdua. Si tuli kehabisan nafas dalam acara pengejaran. Si tuli mencari hal yang tak pasti. Bertukar posisi mereka berdua. Si tuli merasakan ke-tidak layakan dirinya di samping si bisu. Karena si bisu tidak berucap dengan jelas. Si tuli berkaca-kaca. Merasa tidak mendapati apa tujuannya.

Si tuli berlari sekencang-kencangnya menghindari si bisu. Si bisu tak bertuan. Si tuli tak meraja. Untuk kesekian kalinya si tuli ganas. Untuk kesekian kalinya si bisu meranggas. Mereka berdua dipisahkan waktu dengan jarak. Jarak dengan waktu. Si tuli menghapus bayangan si bisu bersamaan terbenamnya matahari – setiap harinya. Si bisu membayangi si tuli bersamaan terbitnya matahari – setiap paginya. Kolaborasi mereka cukup jauh di batas angan. Hal yang menghubungkan mereka hanyalah pertanyaan. Tergantung begitu saja bersama angin yang mendesir – air yang mengalir – tanah yang dipijak – api yang mereka coba redam.



***



Saat si bisu belajar berkata. Lembut – halus. Belajar huruf. Kata yang dilafalkan. Hingga tersusun rapih menjadi kalimat penguntai. Si bisu belajar dari kesendirian – keseharian tanpa si tuli. Hingga lancar berucap. Hingga tak malu berkata. Hingga lidahnya yang kelu sanggup mengeluarkan bisa yang tajam – menyengat. Berhasil disusun hingga sebuah paragraf terlakoni. Menunggu waktu berjumpa si tuli. Semua bendera ia kibarkan. Semua panji ia tinggikan. Berkata, bahkan bila perlu bernyanyi lantang untuk si tuli. Lagu-lagu romantis pun ia sematkan di antar hati dan mulut yang pandai ber-cuap-cuap. Dendang seribu perahu yang berlayar ke negeri seberang. Perasaan – disinilah yang ia mainkan.

Si tuli belajar mendengar. Apa-apa yang tersurat dan tersirat. Apa-apa yang menyayat dia sebelumnya. Si tuli mendengar samar. Kejauhannya dengan si bisu membantu pendengarannya berdetak kembali. Pompa urat telinganya berdegup-degup. Menghantarkan denyutan yang merubah menjadi suara. Sehingga ia sanggup mendengar suara dalam satu huruf. Ia memejamkan mata sejenak – hingga kata ia tafsirkan ditelinganya. Lambat laun kalimat tersusun indah dalam alat dengarnya. Membantu pun mengerti. Mengartikan suasana hiruk pikuk yang ia lewati dulu bersama si bisu. Hore hore, si tuli mendengar – si tuli mengerti. Ternyata inilah yang ia ingin bisa. Mendengar. Mengerti. Memahami. Sehingga pun ia dapat memposisikan dirinya jika suatu saat bertemu kembali dengan si bisu. Posisi yang bukan menjadi oposisi. Sehingga ia pun bisa mendengar jka si bisu tidak berkata satu huruf pun. Terbang burung mengarungi ombak membawa makanan – tidak lupa untuk pulang ke sarang. Otak – pikiran – disinilah yang ia mainkan.




***



Disuatu sunyi malam – dekapan pekatnya erat. Gelap gulita. Mewakili kemurungan. Mereka bertemu. Entah pejuang mana yang tidak larut pada malam ini. Suasananya ribuan batu es berkumpul membekukan hati. Sayup-sayup mulai terdengar rentetan pertanyaan si bisu tepat di telinga si tuli. Aneh memang. Si bisu tiba-tiba pandai berbicara. Dan lebih aneh. Si tuli mampu mendengar anekdot paling konyol dari mulut lawannya. Koar-koar ganasnya pertanyaan si bisu membangkitkan luka si tuli. Si tuli mampu mendengar pembicaraan si bisu. Si tuli kaget si bisu berbicara. Si bisu kagum si tuli mendengar.

Si bisu senyum membuai si tuli – perasaannya meluap-luap. Kata-katanya membuat pikiran si tuli berguncang. Meletup-letup. Sehingga para bangkai pun tercium sedap beraroma. Malam itu merupakan malam paling malam bagi mereka berdua. Karena pada saat si tuli ingin mengutarakan pikirannya. Ia sulit sangat menerjemahkan kata-kata. Dan si bisu dengan perasaannya yang berbunga-bunga. Mendapati bunga tersebut menyumbat pendengarannya.




imo 13082009 – 1.03 pm

bersembunyi dan menduga

Pura-pura bersembunyi di balik pohon besar. Berharap badan terhalangi dari pandangan dia. Tapi matanya nampak lebih besar dari biasanya. Alhasil ketahuan juga. Bagaimana dengan hatinya ya? Apakah nampak lebih besar juga? Mana saya tahu – memberi kabar saja tidak. Memberi senyum saja – nampak – seperti enggan. Aku bertanya saja, tidak pun ada salahnya.

“hey gerangan kamu di sana. Apakah aku terlihat oleh kamu?” sumringahnya bertanya.
“tidak, mengapa?” matanya lebih besar lagi – kaget. Matanya bersembunyi seperti aku.
”lalu mengapa kamu bisa tahu aku sedang bersembunyi di balik pohon itu?”
”aku tidak pernah tahu, memangnya kamu?”
”oh tidak, lalu mengapa kamu menatapi pohon itu dengan seksama?”
”ada yang salah? Aku hanya sedang memandangi saja” matanya agak sedikit mengecil – heran.
”ada apa dengan pohon itu?” kepalang malu.
”tidak ada apa-apa. Hanya sebatas memandangi pohon itu saja.”

Daripada malu ini bertambah. Lebih baik pergi saja ah. Lagi pula dia tidak mengamatiku. Dia sedang asyiknya memandangi pohon besar. Mungkin sedang bernostalgia. Atau mungkin juga dia pernah mengukir namanya – nama orang lain. Dilingkari tidak rapih. Yang kebanyakan orang menganggap bahwa itu bentuk hati. Lalu ditembus satu anak panah. Agar terlihat menusuk – dan mudah teringat. Walaupun sudah lewat. Atau hanya sebuah kenangan yang susah hilang. Karena aku melihat ia menjongkokkan tubuhnya dan menaruh secarik kertas tepat di bawah pohon itu. Sesaji mungkin.



***


Seperti tuan putri yang tidak pernah pantas membawa perisai para ksatria. Berjalan begitu saja di depanku tanpa tendeng aling. Lenggak lenggoknya mengayuh semua mimpi para lelaki untuk ditiduri. Wanita ini aku kenal. Aku kenal baik. Dulu tidak sombong seperti ini. Dulu halus – mewakili kulit putihnya. Dulu juga harum – mewakili kata-katanya. Dan lebih dulu lagi, anggun – mewakili gelagat perbuatannya. Tapi sekarang. Cih, najis. Melihat aku saja tidak. Sombongnya bukan main. Dan aku tidak sudi bermain.

Tapi terkadang tidak ada salahnya juga mengingat perihal keseharian dulu bersamanya. Kangen. Tapi malu diungkapkan. Takut naik lagi ke permukaan. Tapi tidak apalah. Tidak ada yang tahu – kalau pun aku harus dibuat berkaca-kaca. Malu ah. Bersembunyi lagi. Sudah seperti tentara saja – saat didera musuh. Mau tiarap saja. Berlindung.



***


Wanita ini sering aku jelajahi. Seperti bukit-bukit terjal. Agak susah mendakinya. Akan tetapi dia tidak pernah merasa keberatan. Bahkan perbekalan pun tak jarang dia yang buat. Diatur rapih dalam kotak. Dihiasi bunga-bunga. Berwana-warni. Yang satu merah muda, ada yang merah tua juga. Ada yang belang-belang hitam putih. Ada yang biru sayu. Dan masih banyak lagi warna yang bisa mewakili. Senangnya parah sekali hari itu. Apalagi saat menjelajah – tak segan ia berucap mesra. Wangi. Hangat. Keringat. Lalu berbaur bertemu dalam suasana yang enggan berakhir. Tetapi pun tak jarang – ketika sedang serunya mendaki, tiba-tiba dingin. Tiba-tiba pula berganti arah tujuan. Tiba di ujung bukit lalu plin-plan. Naik turun bukit. Naik lagi. Tak jarang turun lagi.

Hingga satu masa kelelahan aku sampai di ujung bukit. Menyerahkan seluruhnya kepada dia. Apa saja. Semuanya boleh. Pasrah. Dan dia pun mengambil jalan yang begitu singkat. ”sudahlah, pendakian ini kita sudahi. Ada belokan di sini. Kanan – kiri. Aku sudah tidak bisa.” lalu aku merapat pergi. Menuruni bukit ini dengan kotak berbunga tadi – yang setiap langkah aku susuri bunga itu me-layu. Kotak ini tidak bisa aku buang hanya karena bunganya sudah tidak segar. Aku juga yang lupa menyirami bunganya. Wajar jika tidak segar. Tetapi aku benar-benar tidak bisa membuangnya ditengah perjalanan ini. Aku sayang sekali. Bolehkah aku ucap dua kali. ”aku sayang se-kali”. Bahkan aku bisa mengucapkan sayang itu dua-kali.




***


Namun keadaan pun berbeda saat ini. Aku tampak muram tidak mendaki. Aku lihat dia biasa saja tidak didaki. Walaupun sesekali aku melihatnya bermuram durja di sudut-sudut sungai. Meratapi aliran air yang tak kunjung berhenti. Meskipun kemarau mengajak air menikahi awan. Namun masih ada yang tersisa – beberapa dalam kubangan. Dan ada dalam satu hari awan menceraikan air – deras.

Apakah itu yang membuatnya meng-otak-atik air sungai. Keberadaankah? Atau kabar yang kian mengabur? Atau kah para senja tanpa bayangan dan matahari meninggalkan bulan? Yag aku tahu hanya dia yang sombong – diam. Entah itu dia atau itu aku yang berkelana setelah semua tak sanggup bicara dalam tikungan. Hanya sebuah kesepakatan yang tidak memihak kami berdua. Kesepakatan di setiap tikungan yang harusnya dapat terlewati.



***



Begitulah aku. Bermain kesana kemari. Hanya sebatas bermain tanpa mendaki – tanpa usaha. Aku sesekali melihat dia. Aku tidak tahu apakah dia sesekali melihat aku. Aku bermain di bawah pohon yang rimbun. Udaranya sejuk. Ranting yang berjemari daun - ini mengibaskan ayunan sepoi-sepoi. Tempat nyaman beristirahat. Tempat berlindung – mungkin dihari tua. Menyenangkan memang. Mengharukan memang. Aku tidak bisa beranjak menjauhi pohon ini. Mengertikan aku saat hatiku bertebaran di-mana-mana. Menyabariku. Menyapaku – mengajak berkencan dengan hiburan alam tanpa pemanasan yang begitu berarti.

Disaat hujan pun aku berteduh pada pohon ini. Pohon ini merengkuh aku dengan kehangatan kayu beserta aroma nya yang khas saat berbaur dengan air hujan. Putih? Ya, putih. Tepat di bawah pohon ini. Apa? Ini? Aku mengayun-ayun ingatan. Ya, tentu saja. Ini adalah sesaji wanita angkuh itu. Wanita yang bisa berbelok kapan saja. Terdapat dua lipatan pada kertas ini. Aku lindungi agar tidak basah. Aku buka lipatan pertama – agak tersirat air hujan. Aku buka lipatan kedua – mendapati sebuah tulisan. ”Pohon, beri tahu aku mengapa dia bersembunyi di belakangmu? Aku adalah bukit yang dia daki. Bukan kamu pohon yang berdiam diri. Bukan mataku yang besar yang dapat melihat dia bersembunyi didekapanmu. Tapi hatiku yang besar yang menembus batangmu yang mengalingi. Aku ragu jika dia beranggapan lain. Itu mengapa aku bertanya padamu, pohon”. Aku remas sesaji itu, aku tatap pohon. Aku tatap menenggak. Pohon diam berdiri tegak. Seperti tidak peduli apa yang sedang terjadi.





imo 16082009 - 1.13 am

jauh dari rumah

Dulu rumah yang aku tahu berbentuk segi empat dengan segitiga di atasnya. Lalu aku tarik garis lurus – sepertinya menyenangkan. Walaupun tampak tidak lurus sempurna – bengkok adanya. Si guru memberitahu untuk menggunakan penggaris saat menarik garis lurus. Tapi entah mengapa aku tidak pernah mematuhinya. Sekali saja pernah – mepet. Formalitas saja, supaya terlihat patuh. Lebih mengasyikan saat garisnya bergelombang maupun tidak sejajar dari titik saat aku menariknya. Tapi itulah aku. Bergembira sekali di antara titik yang tidak sama tersebut. Mumpung guru tidak memperhatikan.

Rumahnya aku beri warna yang ceria. Supaya menarik hati. Agar nyaman tinggal di dalamnya. Tidak jarang aku sisipkan gambar pintu. Tempat di mana keluar masuknya orang-orang yang seenaknya berlalu – lalang. Kadang tinggal sebentar – kadang menginap untuk berbagi cerita baru. Menyangkut khalayak orang banyak. Asik-masyuk berbincang – lupa waktu. Hingga lupa untuk pulang. Tidurlah si pembawa informasi ini di rumahku yang ceria berwarna-warni. Namun penginapan ini tidak begitu berfungsi untuk tempat – tidur.

Jendelanya pun - tampak miring-miring garisnya. Tidak begitu melengkung. Biarkan saja. Angin sepoi-sepoi yang ada di luar pun kan tidak segan-segan untuk memasuki ruangan. Bernafas lega udara itu padaku. Aku juga bernafas lega atas udara ini. Membawa cerita sama. Ringan namun mencengangkan. Haru yang membutuhkan punggung tempat berlandas. Mengairi landasan tersebut. Basahlah semua punggungku. Namun si angin keluar sebentar. Tapi tidak lama juga akan kembali lagi. Angin yang memproduksi air. Mendung – hujan.

Gambaran ini aku taruh rapih bersama tumpukan gambar rumah yang lain. Tak jarang aku tengok untuk memastikan rumah ini baik-baik saja. Kadang aku absen satu persatu angin dan dari penginapan usang yang luluh lantah tertindih gambaran yang lain. Sedih ini membantu aku memastikan rumah ini baik-baik saja. Setidaknya untuk para penginap yang tidak pernah tidur.

”apakah kamu menggambar garis itu dengan benar?” sang guru terpaksa menegur aku kembali. Nakal nya aku tidak menggunakan alat bantu dalam menarik garis. Tertunduk takut. Tapi aku harus memberitahu perihal garis yang aku nikmati tanpa penggaris. Aku pun harus mendobrak etika-etika yang beredar. Guru tidak pernah mengerti. Matanya sayu sinis menatap garis. Seperti membuka luka lama. Lebih berpengalaman Ia dalam menarik garis. Kelihatannya seperti itu. Tapi guru ini memerlukan (selalu) alat penarik garis – walaupun hanya satu inci yang dibutuhkan. Di mana berbahaya-nya?

Lalu bagaimana jika aku ingin membuat garis yang lurus panjang sekali namun tiba-tiba melengkung? Karena himpitan luar yang memaksa? Apakah aku harus menggunakan penggaris? Sehingga harus tercipta sebuah sudut dalam belokan. Dan meruncing marah – seolah-olah berganti haluan begitu saja. Tidak bisa aku seperti itu. Aku sudah terbisa menerima lekukan tanpa harus menciptakan sebuah sudut – yang meruncing. Aku ini pembuat rumah yang aku ingin tinggali sendiri. Yang mau mampir – silahkan masuk. Yang mau pergi – silahkan, anda tahu di mana gambar pintu dengan garis tidak lurus berada.

Setelah seperti ini bagaimana seharusnya aku membuat sebuah garis tanpa cacat – tanpa alat bantu pun. Susah memang mengandai-andai. Tidak terjamah oleh tumpukan jemari yang membahu memboyong keinginan garis yang selalu membenkok saat mencoba dengan gempita untuk melurus. Ya, aku berusaha kuat membuat pintu dan jendela ini tampak lurus. Setidaknya untuk diriku sendiri. Aku tidak peduli si guru ini riuh-riuh mengoceh kesana-kemari. Melurus-luruskan garis lurus yang bengkok. Yang harus lurus. Benar-benar lurus dengan alat bantu, tanpa usaha dari sendiri-ku. Bagaiman aku tahu proses si garis lurus ini – jika alat bantu merongrong aku.

Aku ikuti kemauan guru ini. Aku gambari pintu rapuh ini menyerupai persis garis lurus. Persis meruncing di setiap sudutnya. Hingga aku lelah menggambar dan tidak mendapatkan suasana sumringah. Jendela-jendelanya kotak persegi. Kotak. Benar-benar kotak. Sehingga angin yang berusaha masuk menjadi angin yang kotak di dalam ruangan. Satu angin masuk – satu kotak tercipta. Begitulah terus menerus dengan bilangan penambahan. Tanpa pengurangan. Sehingga banyak sekali kotak yang berpetak-petak dalam ruangan. Padat. Hinggan para penginap merasa sesak untuk singgah. Bahkan enggan berbagi informasi. Tidur. Di mana harus tidur? Sempit – kotaknya menhimpit. Menyempitkan gambaran-gambaran yang akan timbul tercipta.

Beginilah keadaan rumah aku saat banyak sudut yang tercipta di luar maupun di dalamnya. Siapa yang sudi mampir sekarang. Siapa yang sudi berbagi informasi. Tidak satu pun hadir – tidak satu pun. Meski dalam bentuk bayangan. Lalu tampak jauh. Aku lelah hingga harus meninggalkan. Aku sekarang sedang mencoba meng-gambarkan masalah-masalah baru yang berputar-putar di luar rumah. Aku gambar sekarang juga – sebuah lingkaran dengan penggaris. Aku gambar persis di luar rumah yang bersudut lancip.


imo 260809 03.11 am

sebuah kalimat

Keringat ini bukan simbol dari rasa lelah. Ataupun kesakitan karena sengatan lebah. Keringat ini menetes berulang kali tanpa sebab. Mungkin sebenarnya belum tahu sebabnya. Agak ramai di sini. Berdesakan. Tapi bukan itu penyebab keringat ini. Toh, cuacanya lagi dingin. Baru selesai hujan beberapa waktu yang lalu. Beberapa waktu yang lalu itu aku habiskan untuk berimajinasi – dengan kamu. Kamu-nya juga jauh. Kalau tidak jauh, mungkin tidak ada keringat ini – kamu yang usap. Senangnya saat terusap oleh kamu. Karena itu pengalaman kita beradu mata.

Untuk beberapa saat keringat tak kunjung terusap. Aku malas menyapunya. Nanti juga turun lagi. Apakah keringat ini ada karena aku usap? Atau keringat ini turun karena tidak ada yang mengusap? Bingung menjelaskan jika hal yang itu-itu saja diangkat naik terus ke permukaan. Untuk apa juga aku membahas sedemikian rupa – keringat ini. Kamu pun jauh entah di mana – walaupun aku tahu kamu sedang mengulurkan tangan-mu.


***


Memainkan lagu beberapa saat – saat semua diinginkan untuk menjadi baik-baik saja. Tapi mungkin tetap terasa. Diputar berulang-ulang lagu yang sama. Dihabiskan beberapa waktu bersama kamu. Hal baik dan buruk disatupadukan. Kadang dipilih – kadang memilih. Mengintimidasi diri dengan pendapat sendiri-sendiri. Diam-diam pergi saat tertidur. Saat itu aku lagi sibuk mengatur nada – mendengkur. Hey, kamu lupa untuk menyapu keringat ini. Karena aku terbangun dan menyadari kamu pergi. Keringat ini yang memperingatkan.

Entah – kamu kembali atau tidak. Keadaan tidak berubah. Meskipun terpaksa berubah namun masih terlihat sama. Penyamarataan. Aku tidak suka penyamarataan. Karena monoton tampak terlihat jika tidak ada perbedaan. Tetapi usah jangan didendangkan berulang-ulang. Taruh saja sebagai hiasan sebuah hubungan. Toh, siapa yang pernah merasa sama? Saya panggil bagi yang merasa sama. Saya injak kepalanya. Maka teriakannya akan tampak melengking berbeda


***.


Aku merindukan suasana khas antara kita. Yang tidak akan pernah aku dapati bersama orang lain. Begitu juga dengan kamu. Pasti kamu merasakan. Meski rupa ini tertimbun plagiat jelek. Sensasi yang keluar justru aura yang patut kamu sepadankan dengan kata-kata abadi. Mengagumkan-lah buat kamu. Aku diam saja. Kamu kan yang menikmati (padahal sedari tadi aku menikmati). Mungkin di sini keringat itu mengalir. Memerah padam merendam muka aku – kamu. Aku kagum – teringat hal itu berulang-ulang muram. Karena ini pengalaman kita beradu keringat dalam sekam.

Kamu merasa kecolongan lalu merengkuh tubuh sendiri – berdiri dan duduk seolah sama saja. Sesumbar mulut kamu lembingkan. Seolah-olah aku merasa puas dan dipukul rata sebagai seorang pencuri. Kamu nangis seperti pengemis. Kalau kamu tahu itu. Tapi adapun hal hebat dalam pen-dramatisiran seorang pengemis. Mereka kuat – mereka hebat. Namun aku tidak menemukan hubungan antara pengemis dan pencuri ini. Persetan jika kamu ibaratkan dengan adegan pencuri yang dermawan. Aku bukan itu. Bukan pula pernyataan yang kamu pikirkan.


***


Dalam beban benak aku, yang terpikirkan dalam sebuah pencurian adalah sebuah ketamakan. Wow, aku bukan tamak. Aku hanya aku yang tampak lebih hemat dalam berkata. Aku tidak menginginkan pengeluaran kata-ku lebih banyak daripada pemasukan. Itu mengapa aku berhemat. Berhemat yang menggunakan perasaan. Jadi silahkan timbang sendiri. Jangan kamu jejali timbangan itu dengan sosok orang lain.

Orang lain itu punya kehidupan dan kebohongannya sendiri. Dengan ketidakberdayaan dan ketimpangannya sendiri. Usah kamu bahas pun – aku cuma tertegun mendengarkan. Tidak terpaksa. Mendengarkan dengan iba malah. Jangan marah – aku sama sekali tidak meremehkan itu. Aku tidak meremahkan hal-hal kecil – juga tidak memperbesarkan hal-hal remeh.

Karena yang aku tahu keringat ini tersusun bukan karena orang lain. Meskipun tidak tahu mengapa adanya. Masih mencari-cari kelemahan untuk diriku sendiri. Lalu berhentilah mem-per-samakan. Kan, hari berganti – aku dan kamu juga berganti. Aku hidup dengan aku dan kamu hidup dengan aku – dengan orang lain. Tapi aku susah hidup dengan kamu yang hidup dengan orang lain. Aku merindukan itu. Kamu pun. Rindu saat hidup kamu hanya dengan aku – hidup aku hanya dengan kamu. Susah. Usaha. Susah.

Aku melantur terlalu lampau hingga lupa kamu. Dan kalimat-kalimat bijak orang lain yang kamu ucapkan kepada-ku. Sudah menjadi kalimat paling standar buat aku. Sekarang aku berkeringat. Mungkin karena sebuah kalimat.




imo 280809 12.08 am

Minggu, 23 Agustus 2009

diam tanpa kata

........
............
.....
........
...........
.............
.........
................
..............
...
............
............
.............
......

...




kamu mengerti kan?

Jumat, 21 Agustus 2009

indri dini hari

kasur yang ada dipikiran-mu sekarang
mau mampu menjelang mimpi terawang
hingga ditanya satu kali lagi
kamu jawab "apa" tidak tahu lagi
kalau ditidurkan sekarang pusing
ini simbol rimbunan khayal penting
hingga setengah lima sebelum pagi
sebelumnya menyisakan waktu berbagi

sekarang juga kamu lebih baik diam
kamu kedinginan di ujung mata lentik
sekarang juga aku lebih baik merekam
aku kibaskan kata seperti mengetik
kamu matikan semua - butuh kesunyian mendalam
aku hidupkan semua - butuh waktu mengkritik
lalu aku bertanya kenapa meredam?
kamu jawab "esok hari" sambil menggelitik..

bercerita cinta - bercinta cerita

suara kian parau dihening malam kemarau
hausnya tidak reda ketika bergunjing di beranda
langit mata-mu galau hingga aku halau
air muka-mu lanjutkan gentingnya nada

seperti aku diam ketika berbicara
seperti kamu redam ketika bercengkerama

lanjutkan desahan bersama tabuhan embun - hilang diam-diam lenguhan - tanda-tanda sudah terjalin di ubun-ubun - teriakan panjanglah sebuah padahan

canggung bergumam

Hei canggung, menarilah bersamaku
Keadaanmu yang tanggung itu semakin membeku

Ayo,
Kemari, ikuti langkahku, biar aku yang berhitung.
Kamu bergumam saja tanpa usaha tanpa canggung
Remas saja tanganku, tidak mengapa
Tatap saja mataku, tidak berbahaya

Ya, begitu, lagi, coba ulangi sekali lagi
Tidak, jangan begitu, bangunkan kepalamu
Ya, tatap kedepan, senyum, tidak apa terlihat gigi
Tidak, jangan injak kaki, tak perlu meminta maaf padaku

Wow, hebat rok-mu terangkat hebat
Lambat laun kancing kancing meninggalkan lubang
Tarianmu cepat cepat semakin cepat
Apakah itu desahan dari wanita dalam kerang?

Begini saja, bagaimana kalau aku duduk diam menikmati tarianmu yang bertempo dan ketukan nada yang diburu nafas bisa terumbar begitu saja. Lalu kamu teruskan tarianmu. Biar aku lihat dari tempat duduk saja. Bergumam-canggung.


imo desember2004

Menunggu Pagi

Selamat malam...

Apa kabar malam ini? Sunyi sekali... Langit sedang tidak mau diganggu suara-suara, sedari tadi bulan hanya termangu, bintang-bintang tidak ingin bicara...
Ada apa di atas sana? Sepertinya menunggu sesuatu. Sedangkan waktu semakin menyeretmu kepada ketiadaan.
Aku tunggu sampai pagi.