Kamis, 27 Agustus 2009

jauh dari rumah

Dulu rumah yang aku tahu berbentuk segi empat dengan segitiga di atasnya. Lalu aku tarik garis lurus – sepertinya menyenangkan. Walaupun tampak tidak lurus sempurna – bengkok adanya. Si guru memberitahu untuk menggunakan penggaris saat menarik garis lurus. Tapi entah mengapa aku tidak pernah mematuhinya. Sekali saja pernah – mepet. Formalitas saja, supaya terlihat patuh. Lebih mengasyikan saat garisnya bergelombang maupun tidak sejajar dari titik saat aku menariknya. Tapi itulah aku. Bergembira sekali di antara titik yang tidak sama tersebut. Mumpung guru tidak memperhatikan.

Rumahnya aku beri warna yang ceria. Supaya menarik hati. Agar nyaman tinggal di dalamnya. Tidak jarang aku sisipkan gambar pintu. Tempat di mana keluar masuknya orang-orang yang seenaknya berlalu – lalang. Kadang tinggal sebentar – kadang menginap untuk berbagi cerita baru. Menyangkut khalayak orang banyak. Asik-masyuk berbincang – lupa waktu. Hingga lupa untuk pulang. Tidurlah si pembawa informasi ini di rumahku yang ceria berwarna-warni. Namun penginapan ini tidak begitu berfungsi untuk tempat – tidur.

Jendelanya pun - tampak miring-miring garisnya. Tidak begitu melengkung. Biarkan saja. Angin sepoi-sepoi yang ada di luar pun kan tidak segan-segan untuk memasuki ruangan. Bernafas lega udara itu padaku. Aku juga bernafas lega atas udara ini. Membawa cerita sama. Ringan namun mencengangkan. Haru yang membutuhkan punggung tempat berlandas. Mengairi landasan tersebut. Basahlah semua punggungku. Namun si angin keluar sebentar. Tapi tidak lama juga akan kembali lagi. Angin yang memproduksi air. Mendung – hujan.

Gambaran ini aku taruh rapih bersama tumpukan gambar rumah yang lain. Tak jarang aku tengok untuk memastikan rumah ini baik-baik saja. Kadang aku absen satu persatu angin dan dari penginapan usang yang luluh lantah tertindih gambaran yang lain. Sedih ini membantu aku memastikan rumah ini baik-baik saja. Setidaknya untuk para penginap yang tidak pernah tidur.

”apakah kamu menggambar garis itu dengan benar?” sang guru terpaksa menegur aku kembali. Nakal nya aku tidak menggunakan alat bantu dalam menarik garis. Tertunduk takut. Tapi aku harus memberitahu perihal garis yang aku nikmati tanpa penggaris. Aku pun harus mendobrak etika-etika yang beredar. Guru tidak pernah mengerti. Matanya sayu sinis menatap garis. Seperti membuka luka lama. Lebih berpengalaman Ia dalam menarik garis. Kelihatannya seperti itu. Tapi guru ini memerlukan (selalu) alat penarik garis – walaupun hanya satu inci yang dibutuhkan. Di mana berbahaya-nya?

Lalu bagaimana jika aku ingin membuat garis yang lurus panjang sekali namun tiba-tiba melengkung? Karena himpitan luar yang memaksa? Apakah aku harus menggunakan penggaris? Sehingga harus tercipta sebuah sudut dalam belokan. Dan meruncing marah – seolah-olah berganti haluan begitu saja. Tidak bisa aku seperti itu. Aku sudah terbisa menerima lekukan tanpa harus menciptakan sebuah sudut – yang meruncing. Aku ini pembuat rumah yang aku ingin tinggali sendiri. Yang mau mampir – silahkan masuk. Yang mau pergi – silahkan, anda tahu di mana gambar pintu dengan garis tidak lurus berada.

Setelah seperti ini bagaimana seharusnya aku membuat sebuah garis tanpa cacat – tanpa alat bantu pun. Susah memang mengandai-andai. Tidak terjamah oleh tumpukan jemari yang membahu memboyong keinginan garis yang selalu membenkok saat mencoba dengan gempita untuk melurus. Ya, aku berusaha kuat membuat pintu dan jendela ini tampak lurus. Setidaknya untuk diriku sendiri. Aku tidak peduli si guru ini riuh-riuh mengoceh kesana-kemari. Melurus-luruskan garis lurus yang bengkok. Yang harus lurus. Benar-benar lurus dengan alat bantu, tanpa usaha dari sendiri-ku. Bagaiman aku tahu proses si garis lurus ini – jika alat bantu merongrong aku.

Aku ikuti kemauan guru ini. Aku gambari pintu rapuh ini menyerupai persis garis lurus. Persis meruncing di setiap sudutnya. Hingga aku lelah menggambar dan tidak mendapatkan suasana sumringah. Jendela-jendelanya kotak persegi. Kotak. Benar-benar kotak. Sehingga angin yang berusaha masuk menjadi angin yang kotak di dalam ruangan. Satu angin masuk – satu kotak tercipta. Begitulah terus menerus dengan bilangan penambahan. Tanpa pengurangan. Sehingga banyak sekali kotak yang berpetak-petak dalam ruangan. Padat. Hinggan para penginap merasa sesak untuk singgah. Bahkan enggan berbagi informasi. Tidur. Di mana harus tidur? Sempit – kotaknya menhimpit. Menyempitkan gambaran-gambaran yang akan timbul tercipta.

Beginilah keadaan rumah aku saat banyak sudut yang tercipta di luar maupun di dalamnya. Siapa yang sudi mampir sekarang. Siapa yang sudi berbagi informasi. Tidak satu pun hadir – tidak satu pun. Meski dalam bentuk bayangan. Lalu tampak jauh. Aku lelah hingga harus meninggalkan. Aku sekarang sedang mencoba meng-gambarkan masalah-masalah baru yang berputar-putar di luar rumah. Aku gambar sekarang juga – sebuah lingkaran dengan penggaris. Aku gambar persis di luar rumah yang bersudut lancip.


imo 260809 03.11 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar