Kamis, 27 Agustus 2009

bersembunyi dan menduga

Pura-pura bersembunyi di balik pohon besar. Berharap badan terhalangi dari pandangan dia. Tapi matanya nampak lebih besar dari biasanya. Alhasil ketahuan juga. Bagaimana dengan hatinya ya? Apakah nampak lebih besar juga? Mana saya tahu – memberi kabar saja tidak. Memberi senyum saja – nampak – seperti enggan. Aku bertanya saja, tidak pun ada salahnya.

“hey gerangan kamu di sana. Apakah aku terlihat oleh kamu?” sumringahnya bertanya.
“tidak, mengapa?” matanya lebih besar lagi – kaget. Matanya bersembunyi seperti aku.
”lalu mengapa kamu bisa tahu aku sedang bersembunyi di balik pohon itu?”
”aku tidak pernah tahu, memangnya kamu?”
”oh tidak, lalu mengapa kamu menatapi pohon itu dengan seksama?”
”ada yang salah? Aku hanya sedang memandangi saja” matanya agak sedikit mengecil – heran.
”ada apa dengan pohon itu?” kepalang malu.
”tidak ada apa-apa. Hanya sebatas memandangi pohon itu saja.”

Daripada malu ini bertambah. Lebih baik pergi saja ah. Lagi pula dia tidak mengamatiku. Dia sedang asyiknya memandangi pohon besar. Mungkin sedang bernostalgia. Atau mungkin juga dia pernah mengukir namanya – nama orang lain. Dilingkari tidak rapih. Yang kebanyakan orang menganggap bahwa itu bentuk hati. Lalu ditembus satu anak panah. Agar terlihat menusuk – dan mudah teringat. Walaupun sudah lewat. Atau hanya sebuah kenangan yang susah hilang. Karena aku melihat ia menjongkokkan tubuhnya dan menaruh secarik kertas tepat di bawah pohon itu. Sesaji mungkin.



***


Seperti tuan putri yang tidak pernah pantas membawa perisai para ksatria. Berjalan begitu saja di depanku tanpa tendeng aling. Lenggak lenggoknya mengayuh semua mimpi para lelaki untuk ditiduri. Wanita ini aku kenal. Aku kenal baik. Dulu tidak sombong seperti ini. Dulu halus – mewakili kulit putihnya. Dulu juga harum – mewakili kata-katanya. Dan lebih dulu lagi, anggun – mewakili gelagat perbuatannya. Tapi sekarang. Cih, najis. Melihat aku saja tidak. Sombongnya bukan main. Dan aku tidak sudi bermain.

Tapi terkadang tidak ada salahnya juga mengingat perihal keseharian dulu bersamanya. Kangen. Tapi malu diungkapkan. Takut naik lagi ke permukaan. Tapi tidak apalah. Tidak ada yang tahu – kalau pun aku harus dibuat berkaca-kaca. Malu ah. Bersembunyi lagi. Sudah seperti tentara saja – saat didera musuh. Mau tiarap saja. Berlindung.



***


Wanita ini sering aku jelajahi. Seperti bukit-bukit terjal. Agak susah mendakinya. Akan tetapi dia tidak pernah merasa keberatan. Bahkan perbekalan pun tak jarang dia yang buat. Diatur rapih dalam kotak. Dihiasi bunga-bunga. Berwana-warni. Yang satu merah muda, ada yang merah tua juga. Ada yang belang-belang hitam putih. Ada yang biru sayu. Dan masih banyak lagi warna yang bisa mewakili. Senangnya parah sekali hari itu. Apalagi saat menjelajah – tak segan ia berucap mesra. Wangi. Hangat. Keringat. Lalu berbaur bertemu dalam suasana yang enggan berakhir. Tetapi pun tak jarang – ketika sedang serunya mendaki, tiba-tiba dingin. Tiba-tiba pula berganti arah tujuan. Tiba di ujung bukit lalu plin-plan. Naik turun bukit. Naik lagi. Tak jarang turun lagi.

Hingga satu masa kelelahan aku sampai di ujung bukit. Menyerahkan seluruhnya kepada dia. Apa saja. Semuanya boleh. Pasrah. Dan dia pun mengambil jalan yang begitu singkat. ”sudahlah, pendakian ini kita sudahi. Ada belokan di sini. Kanan – kiri. Aku sudah tidak bisa.” lalu aku merapat pergi. Menuruni bukit ini dengan kotak berbunga tadi – yang setiap langkah aku susuri bunga itu me-layu. Kotak ini tidak bisa aku buang hanya karena bunganya sudah tidak segar. Aku juga yang lupa menyirami bunganya. Wajar jika tidak segar. Tetapi aku benar-benar tidak bisa membuangnya ditengah perjalanan ini. Aku sayang sekali. Bolehkah aku ucap dua kali. ”aku sayang se-kali”. Bahkan aku bisa mengucapkan sayang itu dua-kali.




***


Namun keadaan pun berbeda saat ini. Aku tampak muram tidak mendaki. Aku lihat dia biasa saja tidak didaki. Walaupun sesekali aku melihatnya bermuram durja di sudut-sudut sungai. Meratapi aliran air yang tak kunjung berhenti. Meskipun kemarau mengajak air menikahi awan. Namun masih ada yang tersisa – beberapa dalam kubangan. Dan ada dalam satu hari awan menceraikan air – deras.

Apakah itu yang membuatnya meng-otak-atik air sungai. Keberadaankah? Atau kabar yang kian mengabur? Atau kah para senja tanpa bayangan dan matahari meninggalkan bulan? Yag aku tahu hanya dia yang sombong – diam. Entah itu dia atau itu aku yang berkelana setelah semua tak sanggup bicara dalam tikungan. Hanya sebuah kesepakatan yang tidak memihak kami berdua. Kesepakatan di setiap tikungan yang harusnya dapat terlewati.



***



Begitulah aku. Bermain kesana kemari. Hanya sebatas bermain tanpa mendaki – tanpa usaha. Aku sesekali melihat dia. Aku tidak tahu apakah dia sesekali melihat aku. Aku bermain di bawah pohon yang rimbun. Udaranya sejuk. Ranting yang berjemari daun - ini mengibaskan ayunan sepoi-sepoi. Tempat nyaman beristirahat. Tempat berlindung – mungkin dihari tua. Menyenangkan memang. Mengharukan memang. Aku tidak bisa beranjak menjauhi pohon ini. Mengertikan aku saat hatiku bertebaran di-mana-mana. Menyabariku. Menyapaku – mengajak berkencan dengan hiburan alam tanpa pemanasan yang begitu berarti.

Disaat hujan pun aku berteduh pada pohon ini. Pohon ini merengkuh aku dengan kehangatan kayu beserta aroma nya yang khas saat berbaur dengan air hujan. Putih? Ya, putih. Tepat di bawah pohon ini. Apa? Ini? Aku mengayun-ayun ingatan. Ya, tentu saja. Ini adalah sesaji wanita angkuh itu. Wanita yang bisa berbelok kapan saja. Terdapat dua lipatan pada kertas ini. Aku lindungi agar tidak basah. Aku buka lipatan pertama – agak tersirat air hujan. Aku buka lipatan kedua – mendapati sebuah tulisan. ”Pohon, beri tahu aku mengapa dia bersembunyi di belakangmu? Aku adalah bukit yang dia daki. Bukan kamu pohon yang berdiam diri. Bukan mataku yang besar yang dapat melihat dia bersembunyi didekapanmu. Tapi hatiku yang besar yang menembus batangmu yang mengalingi. Aku ragu jika dia beranggapan lain. Itu mengapa aku bertanya padamu, pohon”. Aku remas sesaji itu, aku tatap pohon. Aku tatap menenggak. Pohon diam berdiri tegak. Seperti tidak peduli apa yang sedang terjadi.





imo 16082009 - 1.13 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar