Kamis, 27 Agustus 2009

komunikasi bisu - tuli

Sayup-sayup mulai terdengar rentetan pertanyaan si bisu tepat di telinga si tuli. Aneh memang. Si bisu tiba-tiba pandai berbicara. Dan lebih aneh. Si tuli mampu mendengar anekdot paling konyol dari mulut lawannya. Koar-koar ganasnya pertanyaan si bisu membangkitkan luka si tuli. Si tuli punya hati. Si bisu punya otak. Kadang mereka bertukar kepunyaan mereka masing-masing. Kadang – juga, mereka saling melempar kembali kepunyaan – kesayangan – kebanggan. Dipertahankanlah. Benteng mereka kuat-kuat. Jebolnya saat berbaur. Tapi berbaurnya mereka penyebab hancur. Sampai saat inilah mereka bertahan dari kepunyaan-nya masing-masing. Hancurlah mereka punya kepunyaan.



***



Beberapa saat yang lalu – jauh sekali. Hari tersusun sebagai hari. Dan bulan dijalani seperti bulan. Hingga lama sekali. Dari hari awal mereka bertemu. Namun tahun belum dijamahi. Seakan sudah melewati tahunan tanpa basa-basi.

Kemarin-kemarin si bisu tampak sekali terlihat bisu. Dengan otaknyalah ia sanggup menjelaskan. Walaupun berputar-putar keadaan, ia tetap tampak terlihat bisu. Ya memang bisu. Apalagi. Toh, bisu kan tidak mengeluarkan kata-kata. Tapi apakah harus mengeluarkan otaknya? Tampak seram bukan. Ah, tak mengapa biarkanlah si bisu melakukan buaiannya. Terlalu dini mungkin si bisu bercakap kepada si tuli. Biarkanlah. Si bisu ini punya otak. Biarkanlah otaknya yang mewakili perasaannya.

Kemarin-kemarin juga si tuli tampak sekali terlihat tuli. Tidak bisa mendengar muntahan suara dari otak si bisu. Mungkin muntahan pikiran otaknya tampak terlihat seram. Dikarenakan takut mungkin. Jadi manut si tuli. Si tuli tampak gagah yang lemah lembut jika menghadapi si bisu. Nah, si bisu. Selalu tampak anggun di mata si tuli. Untungnya si tuli tidak buta. Setidaknya dia mampu melihat ke-anggunan si bisu yang dibuang padanya. Perasaan si tuli-lah yang dipertaruhkan disini. Anggun – memainkan perasaan si tuli. Indah. Si tuli menangis sesekali. Bahagia – haru di ladangnya sendiri. Pekarangannya ia sisakan jika suatu saat si bisu mampir. Perasaan yang main di sini. Biarkanlah. Si tuli ini punya perasaan. Biarkanlah perasaannya yang mewakili otaknya.



***



Beberapa saat si bisu bingung mengutarakan otaknya. Karena si tuli gencar dan memencar dengan begitu saja tanpa jeda. Si bisu bingungnya bukan kepalang. Digeleng-gelengkannya kepala beberapa kali – menandakan ketidak sanggupan si bisu menahan gencaran si tuli. Si tuli asyik saja. Seakan tidak mendengar alasan si bisu. Si tuli tidak perlu menutup kuping. Yang ia perlukan hanya mengumbar semua perasaanya. Tapi perlahan ditepis dengan syahdu oleh si bisu. Si tuli berdarah-darah hatinya. Si bisu iba. Si bisu ikut menangis. Otaknya dikesampingkan sementara waktu. Terlibat gejolak yang memuncak saat si tuli merapatkan hatinya. Si bisu tidak menggunakan otaknya.

Si tuli mulai memainkan nada cinta di sisi si bisu. Si bisu mencoba berkata. Namun, terbata-bata. Acak-acakan kalimat yang dihembuskan. Gugup. Sehingga tampak beberapa kata yang diulang hingga sampai dua atau tiga kali. Lupa saya. Yang saya ingat adalah gugupnya si bisu tidak terdengar si tuli. Si bisu gemetaran. Si tuli keasyikan. Bermain cintalah mereka berdua. Berkejar-kejaran pagi dan malam. Si tuli mengejar si bisu. Si bisu berlindung di balik kebanggaannya. Si tuli tidak menemukan. Si bisu semakin bersembunyi.



***



Beberapa waktu tidak didapati mereka berdua. Si tuli kehabisan nafas dalam acara pengejaran. Si tuli mencari hal yang tak pasti. Bertukar posisi mereka berdua. Si tuli merasakan ke-tidak layakan dirinya di samping si bisu. Karena si bisu tidak berucap dengan jelas. Si tuli berkaca-kaca. Merasa tidak mendapati apa tujuannya.

Si tuli berlari sekencang-kencangnya menghindari si bisu. Si bisu tak bertuan. Si tuli tak meraja. Untuk kesekian kalinya si tuli ganas. Untuk kesekian kalinya si bisu meranggas. Mereka berdua dipisahkan waktu dengan jarak. Jarak dengan waktu. Si tuli menghapus bayangan si bisu bersamaan terbenamnya matahari – setiap harinya. Si bisu membayangi si tuli bersamaan terbitnya matahari – setiap paginya. Kolaborasi mereka cukup jauh di batas angan. Hal yang menghubungkan mereka hanyalah pertanyaan. Tergantung begitu saja bersama angin yang mendesir – air yang mengalir – tanah yang dipijak – api yang mereka coba redam.



***



Saat si bisu belajar berkata. Lembut – halus. Belajar huruf. Kata yang dilafalkan. Hingga tersusun rapih menjadi kalimat penguntai. Si bisu belajar dari kesendirian – keseharian tanpa si tuli. Hingga lancar berucap. Hingga tak malu berkata. Hingga lidahnya yang kelu sanggup mengeluarkan bisa yang tajam – menyengat. Berhasil disusun hingga sebuah paragraf terlakoni. Menunggu waktu berjumpa si tuli. Semua bendera ia kibarkan. Semua panji ia tinggikan. Berkata, bahkan bila perlu bernyanyi lantang untuk si tuli. Lagu-lagu romantis pun ia sematkan di antar hati dan mulut yang pandai ber-cuap-cuap. Dendang seribu perahu yang berlayar ke negeri seberang. Perasaan – disinilah yang ia mainkan.

Si tuli belajar mendengar. Apa-apa yang tersurat dan tersirat. Apa-apa yang menyayat dia sebelumnya. Si tuli mendengar samar. Kejauhannya dengan si bisu membantu pendengarannya berdetak kembali. Pompa urat telinganya berdegup-degup. Menghantarkan denyutan yang merubah menjadi suara. Sehingga ia sanggup mendengar suara dalam satu huruf. Ia memejamkan mata sejenak – hingga kata ia tafsirkan ditelinganya. Lambat laun kalimat tersusun indah dalam alat dengarnya. Membantu pun mengerti. Mengartikan suasana hiruk pikuk yang ia lewati dulu bersama si bisu. Hore hore, si tuli mendengar – si tuli mengerti. Ternyata inilah yang ia ingin bisa. Mendengar. Mengerti. Memahami. Sehingga pun ia dapat memposisikan dirinya jika suatu saat bertemu kembali dengan si bisu. Posisi yang bukan menjadi oposisi. Sehingga ia pun bisa mendengar jka si bisu tidak berkata satu huruf pun. Terbang burung mengarungi ombak membawa makanan – tidak lupa untuk pulang ke sarang. Otak – pikiran – disinilah yang ia mainkan.




***



Disuatu sunyi malam – dekapan pekatnya erat. Gelap gulita. Mewakili kemurungan. Mereka bertemu. Entah pejuang mana yang tidak larut pada malam ini. Suasananya ribuan batu es berkumpul membekukan hati. Sayup-sayup mulai terdengar rentetan pertanyaan si bisu tepat di telinga si tuli. Aneh memang. Si bisu tiba-tiba pandai berbicara. Dan lebih aneh. Si tuli mampu mendengar anekdot paling konyol dari mulut lawannya. Koar-koar ganasnya pertanyaan si bisu membangkitkan luka si tuli. Si tuli mampu mendengar pembicaraan si bisu. Si tuli kaget si bisu berbicara. Si bisu kagum si tuli mendengar.

Si bisu senyum membuai si tuli – perasaannya meluap-luap. Kata-katanya membuat pikiran si tuli berguncang. Meletup-letup. Sehingga para bangkai pun tercium sedap beraroma. Malam itu merupakan malam paling malam bagi mereka berdua. Karena pada saat si tuli ingin mengutarakan pikirannya. Ia sulit sangat menerjemahkan kata-kata. Dan si bisu dengan perasaannya yang berbunga-bunga. Mendapati bunga tersebut menyumbat pendengarannya.




imo 13082009 – 1.03 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar