Kamis, 27 Agustus 2009

bulan datang

Seharusnya malam ini sudah terlelap. Bulan pun sudah mulai tampak bosan bertengger di sana. Sepertinya menunggu sesuatu. Atau mungkin aku yang sedang menunggu. Sebenarnya memang aku yang sedang menunggu. Lalu bulan menunggu juga? Menunggu siapa? Menunggu aku yang sedang menunggu? Bukan ya. Iya aku tahu kalau itu rutinitasmu. Lalu apa rutinitasku juga menunggu sepertimu bulan? Bulan diam saja. Aku juga diam saja ah.

Eh, tunggu sebentar. Kok bentuk bulannya tidak bundar seperti biasanya. Meruncing. Oh, aku tahu, mungkin ini yang disebut dengan bulan sabit. Tetapi mengapa tampak seperti senyuman yah. Wow, imajinasi ini terlalu liar. Mirip senyum siapa yah. Yang jelas, sama sekali tidak mirip dengan bulan yang bundar.

Bolehkah aku bergelantungan di ujung bentukmu? Hanya untuk menghabiskan waktu menunggu. Bulan masih diam saja. Ternyata bulan yang ini masih sama dengan bulan yang bundar. Lalu kemana perginya bulan yang bundar? Aku lebih suka bulan yang bundar, terang, menerangi. Kalau bulan yang ini sepertinya senyum senyum menertawakan aku. Tapi sedikit menggoda memang. Tapi aku ingin bulan yang dulu saja.

Mungkin bulan yang bundar sedang menstruasi. Biasanya tidak ingin diganggu. Emosinya labil. Tapi, bulan bundar menyenangkan kalau sedang menstruasi. Senangnya malu malu, sembunyi dibalik awan malam. Aduh, aduh, jadi ingin melihat bulan yang bundar. Hei bulan sabit, apakah kamu melihat bulan bundar? Kalau kamu tahu, beritahu, nanti aku buatkan telur dadar. Mau? Atau aku buatkan menu yang lainnya? Aku mau saja kok, sambil aku buatkan sambil aku bercerita tentang aku dan si bulan yang bundar. Ceritanya menarik buat kami berdua. Lumayan untuk menghabiskan waktu malam ini.

Dulu aku dan si bulan yang bundar sering menghabiskan berdua. Bercengkrama. Bercanda, tak jarang sesekali bersentuhan. Agak geli memang. Tapi menakjubkan. Cuma ada malam dimana kami memang tidak bisa bersentuhan. Ya, kamu tahu kan. Saat emosinya labil. Dan pernah juga kami beradu argumen, tentang bagaimana dia, tentang bagaimana aku. Padahal aku sudah sering menjelaskan kalau kami itu berbeda. Mempunyai kehidupan masing-masing yang harus dijalani. Aku punya kehidupan pribadi yang indah. Begitu pun sebaliknya. Tetapi dia sering mengeluh saat kami tidak bersama. Aku tidak tahu.

Eh, bulan sabit. Mau tahu hal yang lebih seru tidak? Kami pernah tidur bersama. Tetapi bukan saat dia bertugas. Saat itu matahari yang jaga. Aku lupa menghitung berapa tetes keringat yang jatuh. Yang jelas dan pasti, mengalir seperti sungai. Tetapi kami berdua menikmati disaat basah tersebut. Dia tidak mengeluh. Begitu pun aku. Dia mau lagi. Aku juga. Keringat juga tidak keberatan untuk berlarian di tubuh kami berdua. Kamu heran yah, mengapa saat tidur bersama bisa berkeringat. Aku juga tidak tahu. Naluri.

Tapi sekarang kemana ya si bulan bundar? Kamu tidak tahu ya. Tak apalah, ada kamu. Lagi pula aku sudah bercerita banyak. Masuk sini sebentar. Biar aku ceritakan. Aku utarakan kalimat kalimat pamungkas ku saat bersama bulan bundar. Mungkin juga berhasil padamu. Telur dadarnya sudah matang. Masuklah sebentar saja. Sebentar saja. Sebentar.

Kenapa? Tidak mau ya? Menyenangkan saat keringat menetes. Mau coba tidak? Oh aku tahu, jangan jangan emosi mu sedang labil malam ini. Berarti malam ini memang sudah jadi nasibku untuk menunggu.

Apakah esok malam kamu masih ada?


imo maret 02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar