Kamis, 27 Agustus 2009

undian

Baskoro, lelaki lajang hitam legam, cetakan orang desa yang orang tuanya hanya buruh tani. Memiliki satu adik yang tidak sekolah. Umur adiknya sudah 12 tahun, sedangkan Baskoro 21 tahun jalan. Keadaan ekonomi keluarganya semakin morat-marit ketika ditinggalkan Bapak satu-satunya, kembali pada Tuhan. Baskoro merasa tanggungan keluarganya selalu nongkrong di pundak.

Dua tahun silam Ia memutuskan untuk mempertaruhkan jiwa raganya ke kota besar. Tanpa bekal ilmu, hanya uang secukupnya, peninggalan ayahnya dulu. Kalau dihitung-hitung hanya mampu untuk pergi ke kota dan makan, kira-kira tiga harian.


***


Sebenarnya Ibu Baskoro tidak setuju anaknya pergi ke kota. Karena khawatir tentunya. Bagaimana tidak, Baskoro sama sekali tidak pernah merasakan kerasnya bangku sekolah. Bisa dibilang dia itu polos dan bodoh. Tapi semangat dan niat Baskoro yang akhirnya membuat Ibunya mengangkat bendera putih.

Berangkat juga Baskoro ke kota. Isak tangis mengiringi kepergian Baskoro. “ Hati-hati ya nak “ hanya kalimat itu yang terucap dari bibir kering wanita tua. “ Sabar ya Bu, semua pasti berubah dan berlalu “. Penuh harapan Baskoro.

***

Deru mesin mobil bernyanyi menunggu dinaiki Baskoro. Debu yang melewati seperti taburan bunga perpisahan. Haru yang terjadi. Beribu angan harapan Baskoro.

***

Satu hari satu malam terlewati begitu saja. Kaki Baskoro akhirnya menapak juga pada salah satu terminal. Clingak-clinguk seperti maling kehilangan jalan pulang setelah seharian merampok. Beberapa saat sebelum menarik napas selanjutnya, sudah ada orang yang menghampiri. Menawarkan jasa. “ Taksi Mas?”, “ Boleh-boleh, tapi jangan terlalu manis”. Lu kira minuman. Dasar tolol. Tapi harap dimaklum saja, karena di desa, keluarganya tidak memiliki televisi maupun radio. Lalu darimana dia tahu tentang kota ini?. Dia itu tahu dari seorang tetangga yang seharian berbual tentang keindahan kota besar.

Belum sampai tiga hari. Hanya beberapa jam saja di kota, Baskoro sudah kehilangan harta warisan Bapaknya. Sudah miskin, tambah miskin. Baskoro bingung, lalu lalang di keramaian kota.

Sepasang mata tajam dari jauh menatap si orang hitam ini. Bak elang mencari mangsa. Mungkin akan terjadi kesialan lagi. Elang itu terbang meninggalkan tempat bertengger, menghampiri Baskoro.

“ Lagi cari pekerjaan, bung? “ rupanya elang baik hati.

“ Kok situ tau? “ Baskoro dengan muka kaget agak memelas.

Elang itu memiliki toko beras. Wajar saja jika Baskoro yang terpilih. Dari garis muka yang terlihat dan perawakan tubuh yang besar menjadikan Baskoro cocok untuk menempati pekerjaan yang dibutuhkan sang elang. Buruh panggul. Jauh-jauh merantau, di desa juga ada. Tapi setidaknya Baskoro bisa menyambung hidup untuk beberapa hari.

Baskoro tinggal di toko beras, merangkap menjadi satpam. Merasa bosan dengan hidup yang serba kecukupan, Baskoro menanyakan tips cepat menjadi orang kaya kepada teman seperjuangan di toko tersebut.

Tips-tipsnya sebagai berikut:
1. Berani malu.
2. Berani menjilat.
3. Berani membunuh.
4. Berani bertaruh.

“ Lalu mana yang kau pilih, Bas? “.

“ Kalau malu, dari dulu aku sudah didera malu. Kalau menjilat aku tidak mau, tambah malu, dan lidah tampak kelu. Membunuh?, hiii, aku tidak tahan melihat darah. Di desa aja kalau mau motong ayam, pasti si mboke yang melakukan. Bagaimana kalau bertaruh? Seluruh hidup ku aku habiskan dengan bertaruh, walau hatiku akan memerah, marah .“

“ Ya sudah kalau begitu aku akan antar kamu ke tempat temanku, dia seorang bandar undian. “

Bersamaan langkah Baskoro, hatinya mengharapkan suatu perubahan besar yang akan terjadi. Tokonya ditinggalkan begitu saja. Yang terbesit hanya menjadi orang kaya, apapun jalannya. Tiba juga di tempat penuh kepulan asap rokok dan aroma alkohol yang sesekali menunjukan bau khasnya. Lenggak-lenggok pinggul wanita tanpa sanggul ikut bercampur baur dalam suatu pertandingan mempertaruhkan uang. Menemani mereka-mereka yang berjaya di meja judi. Tak jarang yang menyelipkan uang di antara belahan payudara.

Awalnya Baskoro rada canggung ketika ikut berbaur. Uang di dalam saku Baskoro mulai bercampur di meja maksiat. Dengan keterampilan bermain kartu waktu ronda di desa dulu lambat laun menyingkirkan pesaing-pesaing lain yang sudah mulai tidak berkutik di bawah naungan alkohol.

Bandar pun kewalahan melihat sepak terjang Baskoro. Satu malam itu, Baskoro kaya mendadak. Ketagihan dengan permainan mencetak uang dengan cepat itu, akhirnya setiap malam tidak pernah absen.

Sampai pada suatu malam toko majikannya kebobolan, ulah kelalaian Baskoro, yang sekarang menyandang gelar pejudi berat. Baskoro tidak pernah mengambil pusing atas pemecatan dirinya. Toh dia masih bisa hidup dari meja judi.


***

Dan suatu saat orang-orang di meja itu sudah mulai muak dengan masa keemasan Baskoro. Mereka sepakat untuk membuang Baskoro dari gerombolannya. Hebatnya, Baskoro tidak merasa sedih. Toh, masih ada jutaan lagi meja judi di kota ini yang belum disinggahi. Apalagi kehidupan perekonomian Baskoro sudah mulai membaik.

Baskoro sudah memiliki rumah kontrakan sendiri. Hari demi hari Ia habiskan meloncat-loncat dari meja satu ke meja judi yang lain. Baskoro selalu mengantongi jumlah uang yang besar ketika pulang.

***

Hingga dua tahun berlalu. Dalam satu hari dan seterusnya Baskoro mendapati uangnya yang berlimpah tidak berguna. Itu ketika Baskoro mendapatkan surat dari Adiknya. Tulisan tangan tetangganya di desa, di atas secarik kertas. Kertas diputar-putar, dibolak-balik tetap saja tak terbaca. Baskoro meminta empunya kontrakan membacakannya. Lalu si empunya kontrakan hening sejenak sambil berucap dari bibir yang terbata-bata dan raut muka dingin dan rata,

“ Si Mboke meninggal kemarin, karena belum makan lima hari “.







“…kita terlalu sering mempertaruhkan hidup di atas hati yang hampa…”

imo Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar