Kamis, 27 Agustus 2009

bangun terlalu pagi

Pagi cerah dengan suasana merah. Terhimpit hal-hal yang itu lagi. Berbondong-bondong ingin segera berakhir. Dari lambat launnya nafas yang merasa terpaku oleh masa lalu dan terbenamnya tatapan berat demi masa depan. Sebuah kudapan tanpa tudung saji. Sebuah penikmat tanpa sejati. Ceria. Ceria. Saat yang bersamaan para berudu mengadu-adu menjadi katak berkokok. Aku malah ber-metamorfosis menjadi manusia purba tanpa batok. Dengan santainya. Berlindung pada naungan gua. Sesekali keluar untuk melepas dahaga dan memuaskan rasa lapar. Tapi apakah benar adanya? Apakah itu yang dilakukan si-manusia gua? Tidak ceria. Terkurung semua kesunyian.


Bagaimana kalau aku menjadi serigala. Meneriakan lolongan kekosongan hati di ujung yang sebenarnya – memang tidak bertepi. Tidak akan pernah ada habisnya lolongan. Karena apalah artinya lolongan tanpa sahutan yang mengadu – riuh – ramai. Dan sepertinya lebih kurang pantas lagi jika serigala berteriak pagi ini. Tanpa ditemani sang bulan. Pasti serigala merindukan sang bulan. Atau bulan tampak mati untuk serigala. Sepertinya aku tak pantas menjadi serigala. Karena aku tak kuat melolong. Karena aku tak mempunyai bulan untuk aku andai-andaikan. Kosong semua kesunyian.


Apa yang sekiranya pantas untuk aku jadikan bandingan – penyamarataan buatku pagi ini. Aku berpikir sejenak. Jangan dulu beranjak.


***


Aku buatkan teh manis hangat. Aku buat persis hangat. Usah tidak repot membawanya dan tidak terluka karenanya. Satu teguk hangat mewakili perasaan bersyukur pagi ini. Beberapa teguk ternyata tidak terasa. Aku girang mampu mengosongkan area gelas rapuh ini. Agak sedikit retak terkena hangatnya. Aku sudah bilang. Aku buat persis hangat. Bagaimana jika tidak. Pasti tidak ada retak. Jika aku tuang ke dalam gelas terlalu panas - ber-emosi ria. Apakah aku bersyukur untuk pagi ini? Pecah semua kesunyian.


Sebelum aku merasa sudah dan atau tidak sama sekali merasa syukur. Aku merasakan lapar. Aku merasa buas. Padahal aku bukan serigala. Dan tidak pernah pantas untuk menjadinya. Dan. Padahal juga, aku sudah meneguk – beberapa teh manis hangat. Manis. Hanya manis untuk dikenang. Sedangkan aku terbuai untuk hidup saat ini. Berarti aku bukan teh manis hangat yang pandai bersyukur karena terlindungi. Kurang peka. Kurang merasakan kehadiran – Nya. Bodohlah semua kesunyian.


***


Bernyanyi saja. Sambil me-nyimpulkan senyum. Lempar-lemparkan kemari kesana. Lari-lari kecil. Dan siulan. Sesekali berhenti – mengatur nafas. Lanjutkan kembali. Tengok-tengok. Berhenti. Semua itu tidak bisa mewakili perasaanku. Aku duduk dengan panggulan beban berharap setelah dalam keadaan jongkok semua akan mencair. Ternyata pusing. Aku coba tinggi berdiri kembali. Tetapi panggulan ini loncat-loncat di tempat aku mulai mendaki. Aku merangkak mencari sebutir obat. Menghilangkan penat – pusing dari segala marabahaya yang siap menikam saat aku lengah. Obatnya Cuma separuh. Setengah. Itu pun tidak sempurna setengah. Kira-kira berapa gram ya obatnya? Sanggup tidak menghalau rimbunan beban ini. Aku telan tanpa air. Tanpa tangisan. Tanpa harapan. Ada. Harapan. Sedikit. Jadi lebih baik aku anggap tanpa harapan. Tanpa harapan semua kesunyian.


***


Nah, sekarang bingung hendak apa. Diam sejenak. Jangan dulu beranjak.


***


Beberapa saat aku berbaur dengan udara pagi ini. Tiupannya membawa bisikan angkuh. Dinginlah aku. Mengigil sedikit tersapu haru. Haru dibuat melebihi keadaan sekitar yang sebenarnya bisa diperbaiki. Angkuhnya mulai merajai setiap rasa sakit pada tulang-tulang sendi. Dinginnya menjilati setiap penyakit hati. Basuhan air sungai yang meredakan luruh. Dari atas kepala hingga ujung kaki. Ujung kaki. Yang pandai menginjak. Yang pandai ber-omong kosong. Kaki ini menapaki setiap bukit hati para pe-sedih. Dibuatnya berulang-ulang kali merasakan sedih. Sedihnya melebihi perahu karam yang tenggelam sebelum fajar. Sedih semua kesunyian.


Dan berlalu pergi begitu saja seperti serigala tanpa teh manis hangat yang melolong hebat mencari obat. Lalu sesekali bernyanyi menarik hati dan berlalu pergi – lagi. Karena pagi ini terlalu berharga untuk aku jadikan gua masa depan. Aku manusia tanpa gua yang hidup di masa sekarang. Ber-metamorfosis ke masa lalu. Meratapi semua kesunyian.




imo 10082009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar