Kamis, 27 Agustus 2009

sebuah kalimat

Keringat ini bukan simbol dari rasa lelah. Ataupun kesakitan karena sengatan lebah. Keringat ini menetes berulang kali tanpa sebab. Mungkin sebenarnya belum tahu sebabnya. Agak ramai di sini. Berdesakan. Tapi bukan itu penyebab keringat ini. Toh, cuacanya lagi dingin. Baru selesai hujan beberapa waktu yang lalu. Beberapa waktu yang lalu itu aku habiskan untuk berimajinasi – dengan kamu. Kamu-nya juga jauh. Kalau tidak jauh, mungkin tidak ada keringat ini – kamu yang usap. Senangnya saat terusap oleh kamu. Karena itu pengalaman kita beradu mata.

Untuk beberapa saat keringat tak kunjung terusap. Aku malas menyapunya. Nanti juga turun lagi. Apakah keringat ini ada karena aku usap? Atau keringat ini turun karena tidak ada yang mengusap? Bingung menjelaskan jika hal yang itu-itu saja diangkat naik terus ke permukaan. Untuk apa juga aku membahas sedemikian rupa – keringat ini. Kamu pun jauh entah di mana – walaupun aku tahu kamu sedang mengulurkan tangan-mu.


***


Memainkan lagu beberapa saat – saat semua diinginkan untuk menjadi baik-baik saja. Tapi mungkin tetap terasa. Diputar berulang-ulang lagu yang sama. Dihabiskan beberapa waktu bersama kamu. Hal baik dan buruk disatupadukan. Kadang dipilih – kadang memilih. Mengintimidasi diri dengan pendapat sendiri-sendiri. Diam-diam pergi saat tertidur. Saat itu aku lagi sibuk mengatur nada – mendengkur. Hey, kamu lupa untuk menyapu keringat ini. Karena aku terbangun dan menyadari kamu pergi. Keringat ini yang memperingatkan.

Entah – kamu kembali atau tidak. Keadaan tidak berubah. Meskipun terpaksa berubah namun masih terlihat sama. Penyamarataan. Aku tidak suka penyamarataan. Karena monoton tampak terlihat jika tidak ada perbedaan. Tetapi usah jangan didendangkan berulang-ulang. Taruh saja sebagai hiasan sebuah hubungan. Toh, siapa yang pernah merasa sama? Saya panggil bagi yang merasa sama. Saya injak kepalanya. Maka teriakannya akan tampak melengking berbeda


***.


Aku merindukan suasana khas antara kita. Yang tidak akan pernah aku dapati bersama orang lain. Begitu juga dengan kamu. Pasti kamu merasakan. Meski rupa ini tertimbun plagiat jelek. Sensasi yang keluar justru aura yang patut kamu sepadankan dengan kata-kata abadi. Mengagumkan-lah buat kamu. Aku diam saja. Kamu kan yang menikmati (padahal sedari tadi aku menikmati). Mungkin di sini keringat itu mengalir. Memerah padam merendam muka aku – kamu. Aku kagum – teringat hal itu berulang-ulang muram. Karena ini pengalaman kita beradu keringat dalam sekam.

Kamu merasa kecolongan lalu merengkuh tubuh sendiri – berdiri dan duduk seolah sama saja. Sesumbar mulut kamu lembingkan. Seolah-olah aku merasa puas dan dipukul rata sebagai seorang pencuri. Kamu nangis seperti pengemis. Kalau kamu tahu itu. Tapi adapun hal hebat dalam pen-dramatisiran seorang pengemis. Mereka kuat – mereka hebat. Namun aku tidak menemukan hubungan antara pengemis dan pencuri ini. Persetan jika kamu ibaratkan dengan adegan pencuri yang dermawan. Aku bukan itu. Bukan pula pernyataan yang kamu pikirkan.


***


Dalam beban benak aku, yang terpikirkan dalam sebuah pencurian adalah sebuah ketamakan. Wow, aku bukan tamak. Aku hanya aku yang tampak lebih hemat dalam berkata. Aku tidak menginginkan pengeluaran kata-ku lebih banyak daripada pemasukan. Itu mengapa aku berhemat. Berhemat yang menggunakan perasaan. Jadi silahkan timbang sendiri. Jangan kamu jejali timbangan itu dengan sosok orang lain.

Orang lain itu punya kehidupan dan kebohongannya sendiri. Dengan ketidakberdayaan dan ketimpangannya sendiri. Usah kamu bahas pun – aku cuma tertegun mendengarkan. Tidak terpaksa. Mendengarkan dengan iba malah. Jangan marah – aku sama sekali tidak meremehkan itu. Aku tidak meremahkan hal-hal kecil – juga tidak memperbesarkan hal-hal remeh.

Karena yang aku tahu keringat ini tersusun bukan karena orang lain. Meskipun tidak tahu mengapa adanya. Masih mencari-cari kelemahan untuk diriku sendiri. Lalu berhentilah mem-per-samakan. Kan, hari berganti – aku dan kamu juga berganti. Aku hidup dengan aku dan kamu hidup dengan aku – dengan orang lain. Tapi aku susah hidup dengan kamu yang hidup dengan orang lain. Aku merindukan itu. Kamu pun. Rindu saat hidup kamu hanya dengan aku – hidup aku hanya dengan kamu. Susah. Usaha. Susah.

Aku melantur terlalu lampau hingga lupa kamu. Dan kalimat-kalimat bijak orang lain yang kamu ucapkan kepada-ku. Sudah menjadi kalimat paling standar buat aku. Sekarang aku berkeringat. Mungkin karena sebuah kalimat.




imo 280809 12.08 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar